GloriaNet - Di jaman teknologi informasi sekarang ini, sosok wanita karir yang sukses merupakan fenomena umum di kota-kota besar, sekalipun itu seorang ibu rumah tangga. Memang tidak sedikit wanita yang menjalani fungsi ganda, sebagai wanita karir maupun ibu rumah tangga. Bagi yang pandai menyiasati waktu, sukses di kedua bidang tersebut bukanlah hal yang mustahil. Namun bagi yang kewalahan membagi waktu, tak jarang harus mengalami salah satu kegagalan. Kondisi ini membuat wanita terpaksa harus memilih, rumah tangga atau karir.
Memang tidak mudah memainkan peran sebagai wanita karir atau wanita pekerja sekaligus ibu rumah tangga yang baik. Karena kedua dunia itu memiliki tuntutan dan konsekuensi yang sama beratnya. Banyak perusahaan menilai bahwa pegawai wanita kerap kurang profesional setelah menikah dan punya anak. Misalnya sering datang terlambat ke kantor dengan alasan mengurus rumah, suami, dan anak. Secara fisikpun wanita yang kelelahan mengurus rumah tangganya jadi sering tampil ‘berantakan’, wajah kuyu dan jarang tersenyum. Perusahaan pun sulit menuntut lembur ataupun menugaskan ke luar kota pada pegawai wanita yang sudah menikah dan punya anak. Seandainya ditugaskan, tak jarang mereka menolak karena alasan rumah tangga.
Namun, sejauh ini banyak wanita yang mengimpikan kesuksesan di kedua bidang yang saling berseberangan itu, sukses dalam karir dan bahagia di rumah tangga. Wanita dengan ambisi tersebut akan berusaha keras untuk mencapainya. Memang sulit meraih keduanya, tapi bukan tidak mungkin anda sebagai wanita dapat meraihnya. Lalu bagaimana caranya?
Sebelumnya, pertanyakan pada diri anda sendiri, hingga ke lubuk hati yang paling dalam. “Apakah saya masih ingin melanjutkan karir yang selama ini saya idamkan, walaupun saya telah berumah tangga..?”. Kalau jawaban anda “ya” berarti anda harus bersikap konsisten dan memiliki komitmen pada pilihan yang sudah anda tetapkan. Sikap ini dapat anda tunjukkan dengan bertanggung jawab penuh terhadap tugas-tugas yang dipercayakan perusahaan kepada anda tanpa melalaikan urusan rumah tangga. Dengan rasa tanggung jawab, anda tidak akan pernah merasa terbebani dengan tugas di kantor dan rumah. Jadikan bahwa pekerjaan adalah bagian dari rutinitas hidup anda. Sehingga anda akan mudah menikmati kedua peran, sebagai wanita rumah tangga dan wanita karir.
Hal penting yang harus anda lakukan adalah pengorganisasian dan pengaturan waktu seefisien mungkin. Dengan adanya dua peran yang harus dimainkan, anda perlu membuat ‘aturan main’ hingga kedua peran tersebut bisa dilakonkan sama baiknya. Belajarlah untuk membuat perencanaan yang terjadwal pada dua kegiatan yang berbeda, yaitu kegiatan rumah tangga dan kegiatan kantor. Tentunya anda harus mendelegasikan kegiatan di rumah pada orang lain, misalnya pada pembantu rumah tangga atau pada orang yang anda percaya mengurus rumah dan anak-anak anda. Untuk mengontrolnya, anda tetap bisa memantaunya dari kantor. Misalnya dengan meneleponnya setiap hari untuk menanyakan kondisi anak-anak dan rumah anda. Sehingga jika anda yakin situasi rumah aman terkendali, anda bisa lebih konsentransi dalam menyelesaikan tugas-tugas di kantor.
Jika perusahaan mengharuskan anda lembur atau tugas keluar kota, kalau tidak ada hal-hal yang lebih penting sebisa mungkin jangan menolaknya. Jelaskan pada suami, anak-anak dan pembantu rumah tangga tentang pekerjaan tambahan anda. Sampaikan pernyataan maaf anda karena waktu anda di rumah menjadi berkurang akibat pekerjaan tersebut. Jika harus keluar kota, selesaikan urusan rumah terlebih dulu. Pastikan semua kebutuhan rumah tangga telah terpenuhi. Dari luar kota jangan lupa untuk menghubungi orang-orang rumah dan kabarkan bahwa keadaan anda baik-baik saja. Dengan demikian selain suami dan anak-anak merasa lega karena anda dalam keadaan aman, anda pun merasa nyaman karena mengetahui kondisi mereka yang juga baik-baik saja.
Jangan pernah beranggapan bahwa wanita yang sudah menikah dan punya anak akan menurun produktifitas dan kinerjanya. Berusahalah untuk tetap produktif dengan tidak mendelegasikan tugas kantor pada rekan anda. Selesaikan semua pekerjaan hingga tuntas. Caranya adalah dengan membuat skala prioritas pekerjaan dan tidak menunda-nunda pekerjaan. Kerjakan tugas yang paling penting terlebih dulu, kemudian menyusul yang lain. Dengan skala prioritas, anda tidak akan pusing walaupun pekerjaan menumpuk di meja anda.
Anggapan yang juga perlu dijauhi adalah anggapan bahwa setelah berumah tangga, wanita akan terhenti karirnya. Biasanya orang menganggap wanita yang sudah menikah tidak bisa mencurahkan perhatian sepenuhnya pada pekerjaan. Buktikan kalau anda bisa merubah anggapan tersebut. Lebih bagus lagi jika anda tetap menumbuhkan minat untuk terus berkembang. Di samping itu, semangat kompetisi juga perlu dikembangkan. Diantaranya dengan banyak membaca dan mencari informasi yang berkaitan dengan bidang pekerjaan anda. Sehingga anda dapat melakukan pembaruan dan penyegaran ilmu serta wawasan, walaupun anda sudah berstatus ibu rumah tangga.
Manfaatkan waktu libur anda seefektif mungkin bersama keluarga. Tanggalkan urusan kantor jika anda tengah berkumpul bersama keluarga tercinta. Anda dapat melampiaskan kerinduan bersama keluarga dengan rekreasi, jalan-jalan atau hanya berkumpul di rumah. Jadikan waktu libur untuk ‘sharing’ dengan suami dan anak-anak. Sehingga ketika anda kembali bekerja, anda dapat lebih bersemangat. Satu hal lagi yang harus anda perhatikan, jangan tampil ‘lecek’ atau ‘kucel’, meskipun anda lelah mengurus rumah tangga. Tampilkan citra profesional setiap kali anda berangkat ke kantor dengan mengenakan busana yang sesuai dan menampilkan wajah yang segar serta percaya diri. Sehingga anggapan bahwa ibu rumah tangga tidak bisa tampil profesional di kantor, tidak berlaku untuk anda.
Dengan mencoba melakukan hal-hal di atas, diharapkan dapat membantu wanita untuk memainkan dua peran sekaligus, ibu rumah tangga dan wanita karir. Selebihnya gunakan ‘kecerdasan’ anda untuk menyelesaikan setiap masalah yang anda hadapi. Selamat menjadi wanita yang sukses di rumah dan kantor…! (GCM/Astaga!)
Rabu, 27 Mei 2009
Mengundurkan Diri dengan Elegan
Hari yang telah Anda tunggu-tunggu itu akhirnya tiba juga. Akhirnya Anda dapat keluar dari
pekerjaan yang selama ini sangat Anda benci. Dalam atmosfir yang dipenuhi kebencian
terhadap atasan, pekerjaan Anda atau malah kedua-duanya, pasti ada keinginan dalam diri
Anda untuk mewujudkan fantasi yang selama ini telah direncanakan : memberitahu atasan
Anda bagaimana tidak becusnya ia dalam mengatur bawahan, membocorkan pada rekan-rekan
kerja tentang siapa-siapa saja yang pernah membicarakan mereka dan apa saja yang pernah
dibicarakan, atau mengambil persediaan kertas folio di gudang untuk dibawa pulang. Anda
mungkin berpikir : toh saya juga akan segera keluar dari tempat itu, jadi nggak ada salahnya
kan memanfaatkan kesempatan itu?
Salah besar. Cara Anda mengundurkan diri secara tidak langsung akan mempengaruhi karir
Anda di masa depan. Tahan amarah Anda dan jangan berusaha membalas, tapi keluarlah dari
pekerjaan tersebut dengan keprofesionalan yang masih terjaga. Berikut adalah hal-hal yang
harus dipertimbangkan.
1. Berpikir jangka panjang
Jangan sampai Anda mengeluarkan komentar-komentar yang menjelek-jelekkan atasan
atau rekan kerja di tempat lama. Meski dorongan tersebut sangat kuat (dan sangat
menyenangkan bila bisa melakukannya), perlu diingat bahwa apa yang telah diucapkan
tidak dapat ditarik kembali. Kata-kata tersebut (seandainya terdengar oleh orang lain)
akan selalu teringat dan mungkin suatu saat akan sampai ke orang yang Anda jelekjelekkan.
Selain Anda masih membutuhkan tempat kerja lama sebagai referensi, masih
ada kemungkinan Anda akan bertemu dengan rekan kerja baru yang memiliki
hubungan dengan kantor lama — baik sebagai klien, supervisor, atau (yang lebih parah
lagi) teman dekat dari salah seorang rekan kerja Anda di tempat lama.
2. Berpikir rasional
Berhenti kerja dapat menjadi pengalaman bernuansa penuh emosi baik bagi Anda
maupun atasan (yang mungkin selama ini memperlakukan Anda dengan semenamena).
Atasan mungkin akan merasa kaget, marah atau melakukan pembelaan diri
(dan menganggap kesalahan sepenuhnya ada di tangan Anda). Meski ketegangan
mungkin terjadi, tahan emosi dan tetaplah berlaku sebagai seorang profesional. Dengan
berhenti, Anda sebenarnya telah berhasil membalas perlakuannya. Bayangkan, berapa
lama yang akan dibutuhkan untuk mencari sampai melatih orang baru hingga dapat
benar-benar mengisi posisi Anda?
3. Berpikir ke depan
Buat surat dengan singkat, to the point dan mencantumkan tanggal kapan Anda akan
efektif berhenti bekerja. Jangan mengirim melalui email, tapi langsung datangi
staf/orang yang berkepentingan dan serahkan surat tersebut. Berhati-hatilah sebab
mungkin saja begitu menyerahkan surat pengunduran diri, Anda akan langsung disuruh
membereskan meja Anda dan digelandang keluar kantor. Oleh karena itu sangatlah
penting mengemasi barang-barang Anda beberapa hari sebelum (misalnya seminggu)
sebelum berhenti. Kumpulkan barang-barang yang mungkin dapat berguna suatu hari
misalnya alamat email, kartu-kartu nama dari klien, rekan kerja atau supervisor, atau
informasi yang Anda butuhkan mengenai proyek yang sedang Anda kerjakan. Sebab
begitu Anda menginggalkan kantor untuk terakhir kalinya, barang-barang tersebut
tidak bisa diambil lagi.
4. Berpikir positif
Seandainya dulu pekerjaan lama Anda diwarnai masa-masa sulit (dan menyebalkan),
mungkin akan sedikit sulit untuk tidak berkomentar/bercerita mengenai masa-masa
tersebut. Namun membawa beban (dan kekesalan) lama ke pekerjaan baru hanya akan
merusak reputasi Anda. Atasan atau rekan baru Anda pastinya tidak ingin
mendengarkan keluhan mengenai pekerjaan lama Anda. Lupakan deh mimpi buruk
Anda yang dulu, lagipula toh sekarang sudah ada pekerjaan baru. Hadapi masa-masa
transisi tersebut dengan seprofesional mungkin dan songsonglah kesempatan emas di
pekerjaan baru yang ada di depan Anda
pekerjaan yang selama ini sangat Anda benci. Dalam atmosfir yang dipenuhi kebencian
terhadap atasan, pekerjaan Anda atau malah kedua-duanya, pasti ada keinginan dalam diri
Anda untuk mewujudkan fantasi yang selama ini telah direncanakan : memberitahu atasan
Anda bagaimana tidak becusnya ia dalam mengatur bawahan, membocorkan pada rekan-rekan
kerja tentang siapa-siapa saja yang pernah membicarakan mereka dan apa saja yang pernah
dibicarakan, atau mengambil persediaan kertas folio di gudang untuk dibawa pulang. Anda
mungkin berpikir : toh saya juga akan segera keluar dari tempat itu, jadi nggak ada salahnya
kan memanfaatkan kesempatan itu?
Salah besar. Cara Anda mengundurkan diri secara tidak langsung akan mempengaruhi karir
Anda di masa depan. Tahan amarah Anda dan jangan berusaha membalas, tapi keluarlah dari
pekerjaan tersebut dengan keprofesionalan yang masih terjaga. Berikut adalah hal-hal yang
harus dipertimbangkan.
1. Berpikir jangka panjang
Jangan sampai Anda mengeluarkan komentar-komentar yang menjelek-jelekkan atasan
atau rekan kerja di tempat lama. Meski dorongan tersebut sangat kuat (dan sangat
menyenangkan bila bisa melakukannya), perlu diingat bahwa apa yang telah diucapkan
tidak dapat ditarik kembali. Kata-kata tersebut (seandainya terdengar oleh orang lain)
akan selalu teringat dan mungkin suatu saat akan sampai ke orang yang Anda jelekjelekkan.
Selain Anda masih membutuhkan tempat kerja lama sebagai referensi, masih
ada kemungkinan Anda akan bertemu dengan rekan kerja baru yang memiliki
hubungan dengan kantor lama — baik sebagai klien, supervisor, atau (yang lebih parah
lagi) teman dekat dari salah seorang rekan kerja Anda di tempat lama.
2. Berpikir rasional
Berhenti kerja dapat menjadi pengalaman bernuansa penuh emosi baik bagi Anda
maupun atasan (yang mungkin selama ini memperlakukan Anda dengan semenamena).
Atasan mungkin akan merasa kaget, marah atau melakukan pembelaan diri
(dan menganggap kesalahan sepenuhnya ada di tangan Anda). Meski ketegangan
mungkin terjadi, tahan emosi dan tetaplah berlaku sebagai seorang profesional. Dengan
berhenti, Anda sebenarnya telah berhasil membalas perlakuannya. Bayangkan, berapa
lama yang akan dibutuhkan untuk mencari sampai melatih orang baru hingga dapat
benar-benar mengisi posisi Anda?
3. Berpikir ke depan
Buat surat dengan singkat, to the point dan mencantumkan tanggal kapan Anda akan
efektif berhenti bekerja. Jangan mengirim melalui email, tapi langsung datangi
staf/orang yang berkepentingan dan serahkan surat tersebut. Berhati-hatilah sebab
mungkin saja begitu menyerahkan surat pengunduran diri, Anda akan langsung disuruh
membereskan meja Anda dan digelandang keluar kantor. Oleh karena itu sangatlah
penting mengemasi barang-barang Anda beberapa hari sebelum (misalnya seminggu)
sebelum berhenti. Kumpulkan barang-barang yang mungkin dapat berguna suatu hari
misalnya alamat email, kartu-kartu nama dari klien, rekan kerja atau supervisor, atau
informasi yang Anda butuhkan mengenai proyek yang sedang Anda kerjakan. Sebab
begitu Anda menginggalkan kantor untuk terakhir kalinya, barang-barang tersebut
tidak bisa diambil lagi.
4. Berpikir positif
Seandainya dulu pekerjaan lama Anda diwarnai masa-masa sulit (dan menyebalkan),
mungkin akan sedikit sulit untuk tidak berkomentar/bercerita mengenai masa-masa
tersebut. Namun membawa beban (dan kekesalan) lama ke pekerjaan baru hanya akan
merusak reputasi Anda. Atasan atau rekan baru Anda pastinya tidak ingin
mendengarkan keluhan mengenai pekerjaan lama Anda. Lupakan deh mimpi buruk
Anda yang dulu, lagipula toh sekarang sudah ada pekerjaan baru. Hadapi masa-masa
transisi tersebut dengan seprofesional mungkin dan songsonglah kesempatan emas di
pekerjaan baru yang ada di depan Anda
Investasi pada Perangkat Kerja
Kita perlu bisa diakses dan perlu berkomunikasi diluar waktu kerja biasa.
Sudah tidak jamannya lagi, kita dengar seorang beralasan: “ oh telpon saya low bat “
Bisa saja orang berkomentar terhadap sikap kita: ”Masakan mengelola batere satu telpon saja tidak bisa...”.
Mengoptimalkan fungsi ponsel, komputer, dan perangkat kerja lainnya merupakan suatu keharusan.
Sudah tidak jamannya lagi, kita dengar seorang beralasan: “ oh telpon saya low bat “
Bisa saja orang berkomentar terhadap sikap kita: ”Masakan mengelola batere satu telpon saja tidak bisa...”.
Mengoptimalkan fungsi ponsel, komputer, dan perangkat kerja lainnya merupakan suatu keharusan.
Investasi pada Portfolio Sosial
Ada professional yang bila ditanyai berapa relasi yang dia ingat, di dalam maupun di luar perusahaan, hanya bisa menghitung sampai angka 20.
Bandingkan dengan profesional yang mempunyai ratusan relasi, keluarga, kerabat, tetangga, teman, atasan, manajemen top.
Portofolio sosial kita terdiri dari bukan orang yang kita kenal, tetapi orang yang kenal dan mengingat kita.
Bandingkan dengan profesional yang mempunyai ratusan relasi, keluarga, kerabat, tetangga, teman, atasan, manajemen top.
Portofolio sosial kita terdiri dari bukan orang yang kita kenal, tetapi orang yang kenal dan mengingat kita.
Investasi pada Wawasan dan Ketrampilan.
Kita tidak bisa tampil sebagai seorang yang lamban, sulit diajak berkompromi, keras kepala dan merasa bahwa kita sudah ”mumpuni”.
Sikap seperti itu adalah sikap dari profesional yang sudah akan lengser. Kita perlu tampil sebagai seorang yang terbuka, mau belajar dan bisa menyerap setiap isu dengan cepat.
- Cari Cara Kilat Perluas Wawasan : Bangun habituasi membaca dan optimalkan jaringan web untuk mencari tahu hal yang selama ini tidak ada sumbernya.
Gunakan teknik speed reading seperti scanning dan skimming, untuk menyerap bacaan dalam waktu singkat,
mengingat banyaknya materi bacaan sehubungan dengan industri dan profesi yang kita tekuni tidak bisa kita cerna semuanya.
Paksakan diri untuk mengingat dan mengotak atik data dan fakta karena sampai kapan pun seorang profesional perlu fakta dan data bila ingin mengambil keputusan
atau memecahkan masalah.
- Kuasai ”Soft Skill” melalui Mentor: Cara-cara komunikasi, negosiasi, persuasi memang bisa dibaca di buku.
Namun, cara yang paling baik adalah mem-”benchmark” langsung dari orang di sekitar kita.
Saya belajar untuk bersabar, dari tukang kebun saya, sebaliknya belajar ”memasang kuping”, meningkatkan kepekaan pendengaran dari si DJ putra tercinta.
Investasi pada Ketrampilan Manajerial
Ketrampilan manajerial tidak sama dengan ketrampilan teknis. Padahal inilah cikal bakal ketrampilan menuju jenjang manajemen top.
Satu-satunya jalan adalah mengambil kesempatan untuk belajar memimpin kelompok, mempraktekkan teknik-teknik manajerial,
dan menggunakan alat-alat manajemen seperti agenda, perencanaan, laporan, lembar kontrol dengan displin ketat sehingga cara kerja manajerial ini menjadi kebiasaan baru.
Hal yang juga kerap dianggap sepele adalah pengelolaan manusia.
Hanya melalui komunikasi efektif-lah seseorang bisa membuat orang lain bergerak, bekerja bahkan berkinerja.
Untuk itu latihan melakukan negosiasi, briefing, coaching dan counseling harus dikuasai sedini mungkin.
Hanya dengan ketrampilan inilah seseorang bisa menguasai teknik teknik ”bekerja melaui tangan orang lain” .
Sikap seperti itu adalah sikap dari profesional yang sudah akan lengser. Kita perlu tampil sebagai seorang yang terbuka, mau belajar dan bisa menyerap setiap isu dengan cepat.
- Cari Cara Kilat Perluas Wawasan : Bangun habituasi membaca dan optimalkan jaringan web untuk mencari tahu hal yang selama ini tidak ada sumbernya.
Gunakan teknik speed reading seperti scanning dan skimming, untuk menyerap bacaan dalam waktu singkat,
mengingat banyaknya materi bacaan sehubungan dengan industri dan profesi yang kita tekuni tidak bisa kita cerna semuanya.
Paksakan diri untuk mengingat dan mengotak atik data dan fakta karena sampai kapan pun seorang profesional perlu fakta dan data bila ingin mengambil keputusan
atau memecahkan masalah.
- Kuasai ”Soft Skill” melalui Mentor: Cara-cara komunikasi, negosiasi, persuasi memang bisa dibaca di buku.
Namun, cara yang paling baik adalah mem-”benchmark” langsung dari orang di sekitar kita.
Saya belajar untuk bersabar, dari tukang kebun saya, sebaliknya belajar ”memasang kuping”, meningkatkan kepekaan pendengaran dari si DJ putra tercinta.
Investasi pada Ketrampilan Manajerial
Ketrampilan manajerial tidak sama dengan ketrampilan teknis. Padahal inilah cikal bakal ketrampilan menuju jenjang manajemen top.
Satu-satunya jalan adalah mengambil kesempatan untuk belajar memimpin kelompok, mempraktekkan teknik-teknik manajerial,
dan menggunakan alat-alat manajemen seperti agenda, perencanaan, laporan, lembar kontrol dengan displin ketat sehingga cara kerja manajerial ini menjadi kebiasaan baru.
Hal yang juga kerap dianggap sepele adalah pengelolaan manusia.
Hanya melalui komunikasi efektif-lah seseorang bisa membuat orang lain bergerak, bekerja bahkan berkinerja.
Untuk itu latihan melakukan negosiasi, briefing, coaching dan counseling harus dikuasai sedini mungkin.
Hanya dengan ketrampilan inilah seseorang bisa menguasai teknik teknik ”bekerja melaui tangan orang lain” .
Karir Mentok ,Sudahkah Berinvestasi pada Diri Sendiri
Seorang salesman sukses datang pada saya: “Perusahaan ini maunya apa, sih? Saya sudah bekerja selama 5 tahun, selalu mencapai target,
tidak pernah dinaikkan pangkat, malahan, target saya setiap semester dinaikkan.
Apa perusahaan mau menyaksikan kegagalan saya? Karir saya mentok di perusahaan ini....” .
Secara logis tidak ada perusahaan yang ingin “menggencet” karir seseorang, namun ada beberapa hal yang menyebabkan individu merasakan keterhambatan karir.
Bisa saja kompetensinya bagus dibidang penjualan, tetapi di bidang penyeliaan dan manajerial dia lupa mengembangkan diri.
Terkadang kita terlena pada rutinitas dan penghasilan tetap, sehingga merasa bahwa tidak ada jalan untuk membuat nilai tambah pada diri sendiri secara sadar dan terencana.
Tepat pada saat kita merasa ”helpless” itulah karir kita memang betul mentok.
Padahal sebagai profesional, kita harus berkembang bagaikan mesin yang selalu ter “tune up” dan siap menanggung beban tantangan terkini.
Yang jelas, sudah tidak jamannya lagi mengharapkan pihak lain, atau perusahaan bertanggungjawab atas pengembangan diri kita.
Jangan lagi berkata, ”Aduh, gimana tidak gatek...., perusahaan aja tidak memberi saya laptop”.
Atau,“Mana sempat kursus, lembur sampai malam dan sampai di rumah pun saya masih harus mengurus rumah tangga”.
Profesional yang berhasil adalah mereka yang meyakini bahwa tanggung jawab untuk masa depan dan pengembangan karir ada di tangan dirinya sendiri.
Lihatlah kenyataan bahwa orang yang karirnya menanjak punya kebiasaan luar biasa yang menyebabkan dirinya tidak berhenti”walk the extra mile” untuk berinvestasi di dalam dirinya.
Tidak jarang pula kita menyaksikan kenyataan bahwa beberapa profesional yang sudah mencapai usia lanjut tetapi tetap laku dan ”terpakai”.
Bila kita cermati baik baik, profesional senior ini memang belum berhenti ”mengisi” dirinya. Investasi pada diri sendiri, hukumnya: seumur hidup.
tidak pernah dinaikkan pangkat, malahan, target saya setiap semester dinaikkan.
Apa perusahaan mau menyaksikan kegagalan saya? Karir saya mentok di perusahaan ini....” .
Secara logis tidak ada perusahaan yang ingin “menggencet” karir seseorang, namun ada beberapa hal yang menyebabkan individu merasakan keterhambatan karir.
Bisa saja kompetensinya bagus dibidang penjualan, tetapi di bidang penyeliaan dan manajerial dia lupa mengembangkan diri.
Terkadang kita terlena pada rutinitas dan penghasilan tetap, sehingga merasa bahwa tidak ada jalan untuk membuat nilai tambah pada diri sendiri secara sadar dan terencana.
Tepat pada saat kita merasa ”helpless” itulah karir kita memang betul mentok.
Padahal sebagai profesional, kita harus berkembang bagaikan mesin yang selalu ter “tune up” dan siap menanggung beban tantangan terkini.
Yang jelas, sudah tidak jamannya lagi mengharapkan pihak lain, atau perusahaan bertanggungjawab atas pengembangan diri kita.
Jangan lagi berkata, ”Aduh, gimana tidak gatek...., perusahaan aja tidak memberi saya laptop”.
Atau,“Mana sempat kursus, lembur sampai malam dan sampai di rumah pun saya masih harus mengurus rumah tangga”.
Profesional yang berhasil adalah mereka yang meyakini bahwa tanggung jawab untuk masa depan dan pengembangan karir ada di tangan dirinya sendiri.
Lihatlah kenyataan bahwa orang yang karirnya menanjak punya kebiasaan luar biasa yang menyebabkan dirinya tidak berhenti”walk the extra mile” untuk berinvestasi di dalam dirinya.
Tidak jarang pula kita menyaksikan kenyataan bahwa beberapa profesional yang sudah mencapai usia lanjut tetapi tetap laku dan ”terpakai”.
Bila kita cermati baik baik, profesional senior ini memang belum berhenti ”mengisi” dirinya. Investasi pada diri sendiri, hukumnya: seumur hidup.
Senin, 25 Mei 2009
Pendidikan di Indonesia
Membicarakan hal yang satu ini mungkin tidak akan habis-habisnya. Ya, dengan keadaan yang ada sekarang ini, ditandai dengan demo di sejumlah tempat yang pada dasarnya menuntut pendidikan murah. Tapi saya tidak ingin menulis tentang demo tersebut. Saya hanya ingin menceritakan beberapa keluhan handai taulan (bahkan sampai berdebat kusir hehehe) tentang pendidikan ini.
Salah satu teman saya, agak berang, bilang “Masak sudah sudah ada BOS, kita masih harus bayar Rp. 15.000 per bulan? Di SD lainnya kok enggak bayar lagi.”. Kebetulan memang anaknya berada di SD Negeri 2, dimana ada 3 SDN dalam satu lingkungan sekolah.
Saya coba jadi counter-nya, “Mungkin di SDnya banyak ekstra kurikuler. Sudah cek atau belum? Ada komputer atau enggak?”.
Dia langsung menyanggah, “Ah enggak ada kayak gituan. sama aja!”
Akhirnya lama berdebat, bahkan ditambah satu orang lagi. Cuma jadi kemana-mana buntutnya. Menuduh KepSek korupsi, Guru korupsi, Masya Allah. Setelah lama berdebat, disimpulkan bahwa sebagian dana anggaran orang tua tadi digunakan untuk perbaikan WC, prasarana gedung, tiang bendera, biaya mencat pagar dan lain-lain.
Akhirnya, saya merasa menyadari ada ketidak-adilan disini. Kalau sudah tidak adil, pasti melanggar Pancasila, “Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”. Kita bisa bandingkan SD Negeri di tengah kota dengan SD Negeri di kampung. Terasa sekali ketimpangan sosial antara kedua SD tersebut. Berita hari ini, ada satu SDN yang roboh.
Menurut ‘mata-adil’ saya, seharusnyalah setiap Sekolah Negeri di negeri ini mempunyai prasarana yang sama, baik dipedalaman Papua sana, atau yang berada di pusat kota Jakarta. Tidak boleh dibedakan. Karena ini Sekolah Negeri (atau Sekolah miliknya negara), maka tidak boleh juga menerima sumbangan dari pihak lain. Mutlak harus dibiayai negara.
Perbedaan Uang Pangkal juga menjadi pertanyaan. Kok, sama sama sekolah negeri uang pangkal berbeda? Tiap sekolah pasti punya jawaban (atau alasan) mengapa mereka menarik uang pangkal sedemikian besar. Uang sejenis inipun harus ditiadakan untuk sekolah Negeri. Alasannya sama dengan di atas, tidak boleh ada perbedaan antar sekolah negeri.
Tentu lain halnya dengan sekolah swasta, yang sah-sah saja menerima sumbangan dari pihak manapun.
Saya tidak tahu keadaan makro dari Anggaran Belanja Negara untuk pendidikan yang konon terlalu kecil. Saya juga tidak mengetahui kondisi dana subsidi Minyak (yang jadi BOS).
“Kaca mata” saya mungkin perlu diperbaiki, untuk menentukan apakah cukup adil kondisi di atas. Apakah benar pendapat saya, bahwa setiap Sekolah Negeri harus memiliki prasarana
Salah satu teman saya, agak berang, bilang “Masak sudah sudah ada BOS, kita masih harus bayar Rp. 15.000 per bulan? Di SD lainnya kok enggak bayar lagi.”. Kebetulan memang anaknya berada di SD Negeri 2, dimana ada 3 SDN dalam satu lingkungan sekolah.
Saya coba jadi counter-nya, “Mungkin di SDnya banyak ekstra kurikuler. Sudah cek atau belum? Ada komputer atau enggak?”.
Dia langsung menyanggah, “Ah enggak ada kayak gituan. sama aja!”
Akhirnya lama berdebat, bahkan ditambah satu orang lagi. Cuma jadi kemana-mana buntutnya. Menuduh KepSek korupsi, Guru korupsi, Masya Allah. Setelah lama berdebat, disimpulkan bahwa sebagian dana anggaran orang tua tadi digunakan untuk perbaikan WC, prasarana gedung, tiang bendera, biaya mencat pagar dan lain-lain.
Akhirnya, saya merasa menyadari ada ketidak-adilan disini. Kalau sudah tidak adil, pasti melanggar Pancasila, “Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”. Kita bisa bandingkan SD Negeri di tengah kota dengan SD Negeri di kampung. Terasa sekali ketimpangan sosial antara kedua SD tersebut. Berita hari ini, ada satu SDN yang roboh.
Menurut ‘mata-adil’ saya, seharusnyalah setiap Sekolah Negeri di negeri ini mempunyai prasarana yang sama, baik dipedalaman Papua sana, atau yang berada di pusat kota Jakarta. Tidak boleh dibedakan. Karena ini Sekolah Negeri (atau Sekolah miliknya negara), maka tidak boleh juga menerima sumbangan dari pihak lain. Mutlak harus dibiayai negara.
Perbedaan Uang Pangkal juga menjadi pertanyaan. Kok, sama sama sekolah negeri uang pangkal berbeda? Tiap sekolah pasti punya jawaban (atau alasan) mengapa mereka menarik uang pangkal sedemikian besar. Uang sejenis inipun harus ditiadakan untuk sekolah Negeri. Alasannya sama dengan di atas, tidak boleh ada perbedaan antar sekolah negeri.
Tentu lain halnya dengan sekolah swasta, yang sah-sah saja menerima sumbangan dari pihak manapun.
Saya tidak tahu keadaan makro dari Anggaran Belanja Negara untuk pendidikan yang konon terlalu kecil. Saya juga tidak mengetahui kondisi dana subsidi Minyak (yang jadi BOS).
“Kaca mata” saya mungkin perlu diperbaiki, untuk menentukan apakah cukup adil kondisi di atas. Apakah benar pendapat saya, bahwa setiap Sekolah Negeri harus memiliki prasarana
Minggu, 24 Mei 2009
Pendidikan jangka pendek, jangka panjang atau pendidikan tinggi khusus
Jenjang pendidikan ini diselenggarakan dalam dua atau tiga tahun perkuliahan. Program pendidikannya meliputi bidang bisnis, industri atau jasa.
Program ini biasanya diselenggarakan oleh beberapa institut yang terdapat di beberapa universitas (Les Instituts Universitaires de Technologie – IUT/ Institut Universitas Teknologi) atau di beberapa sekolah tinggi khusus.
Perkuliahan mencakup juga magang di beberapa perusahaan yang menawarkan perspektif sesunguhnya dunia kerja. Biasanya seleksinya sangat selektif.
Di antara pendidikan jangka pendek yang ditawarkan di Prancis, Program Teknik Tingkat Tinggi juga layak untuk mendapat perhatian. Program-program ini merupakan kelas lanjutan di sekolah menengah atas yang menawarkan ijazah Brevet de Technicien Supérieur (BTS)/ Brevet Teknik Tingkat Tinggi dengan 100 bidang keahlian berbeda. BTS merupakan salah satu jalan untuk dapat terjun langsung di dunia kerja.
Pendidikan tinggi jangka panjang
Jenjang pendidikan tinggi ini ditawarkan oleh universitas atau Grandes Écoles yang penyelenggaraannya berbeda-beda sesuai dengan jenis perguruan tingginya.
Di Universitas ... jenjang perkuliahan dibagi menjadi tiga tingkatan
Licence (Sarjana) : (3 tahun kuliah selepas SMA) ditempuh dalam 6 semester dengan beban kredit 180 kredit ECTS
Master : ((5 tahun kuliah selepas SMA) ditempuh dalam waktu 4 semester dengan beban kredit 120 kredit ECTS. Terdapat dua jalur master : Master « Recherche »/ « Penelitian » (dahulu DEA) yang biasanya dilanjutkan ke jenjang Doctorat, dan Master « Professionnel »/ « Profesional » yang memudahkan untuk masuk ke dunia kerja.
Sesuai dengan program pendidikannya, mahasiswa asing dapat mendaftar langsung di jenjang Master untuk mendalami keahliannya selama satu atau dua tahun.
Doctorat (Doktor) : (8 tahun kuliah selepas SMA) ditempuh dalam waktu 6 semester dengan beban kredit 180 kredit ECTS.
Di beberapa Grandes Écoles ... jenjang pendidikan tinggi jangka panjang di lembaga ini dan di beberapa sekolah tinggi khusus dilakukan dalam waktu 5 tahun termasuk dua tahun mengikuti kelas persiapan di lembaga yang bersangkutan, atau di lembaga pendidikan tinggi lain.
Classes préparatoires, kelas persiapan atau yang disingkat "prépa" ini memungkinkan mahasiswa untuk mengikuti sejumlah tes masuk di grandes écoles yang sangat selektif. Setelah menempuh lima tahun masa kuliah di sini, mahasiswa akan mendapatkan gelar Master.
Program ini biasanya diselenggarakan oleh beberapa institut yang terdapat di beberapa universitas (Les Instituts Universitaires de Technologie – IUT/ Institut Universitas Teknologi) atau di beberapa sekolah tinggi khusus.
Perkuliahan mencakup juga magang di beberapa perusahaan yang menawarkan perspektif sesunguhnya dunia kerja. Biasanya seleksinya sangat selektif.
Di antara pendidikan jangka pendek yang ditawarkan di Prancis, Program Teknik Tingkat Tinggi juga layak untuk mendapat perhatian. Program-program ini merupakan kelas lanjutan di sekolah menengah atas yang menawarkan ijazah Brevet de Technicien Supérieur (BTS)/ Brevet Teknik Tingkat Tinggi dengan 100 bidang keahlian berbeda. BTS merupakan salah satu jalan untuk dapat terjun langsung di dunia kerja.
Pendidikan tinggi jangka panjang
Jenjang pendidikan tinggi ini ditawarkan oleh universitas atau Grandes Écoles yang penyelenggaraannya berbeda-beda sesuai dengan jenis perguruan tingginya.
Di Universitas ... jenjang perkuliahan dibagi menjadi tiga tingkatan
Licence (Sarjana) : (3 tahun kuliah selepas SMA) ditempuh dalam 6 semester dengan beban kredit 180 kredit ECTS
Master : ((5 tahun kuliah selepas SMA) ditempuh dalam waktu 4 semester dengan beban kredit 120 kredit ECTS. Terdapat dua jalur master : Master « Recherche »/ « Penelitian » (dahulu DEA) yang biasanya dilanjutkan ke jenjang Doctorat, dan Master « Professionnel »/ « Profesional » yang memudahkan untuk masuk ke dunia kerja.
Sesuai dengan program pendidikannya, mahasiswa asing dapat mendaftar langsung di jenjang Master untuk mendalami keahliannya selama satu atau dua tahun.
Doctorat (Doktor) : (8 tahun kuliah selepas SMA) ditempuh dalam waktu 6 semester dengan beban kredit 180 kredit ECTS.
Di beberapa Grandes Écoles ... jenjang pendidikan tinggi jangka panjang di lembaga ini dan di beberapa sekolah tinggi khusus dilakukan dalam waktu 5 tahun termasuk dua tahun mengikuti kelas persiapan di lembaga yang bersangkutan, atau di lembaga pendidikan tinggi lain.
Classes préparatoires, kelas persiapan atau yang disingkat "prépa" ini memungkinkan mahasiswa untuk mengikuti sejumlah tes masuk di grandes écoles yang sangat selektif. Setelah menempuh lima tahun masa kuliah di sini, mahasiswa akan mendapatkan gelar Master.
BAHASA INGGRIS: IRONI DOSEN DAN KUALITAS PENDIDIKAN KITA
Dunia pendidikan (terutama di Kaltim) sekali lagi harus berkabung mendengar berita dari rektor UNMUL mengenai rendahnya kemampuan berbahasa Iggris para dosennya yang sudah berpendidikan master (Kaltim Post, 30/8/04). Jika yang sudah magister saja hanya memiliki skor TOEFL rata-rata dibawah 300 maka bisa dibayangkan mereka yang masih belum magister. Ini betul-betul membuktikan bahwa keinginan kita untuk ‘meleverage’ kualitas pendidikan di Kaltim setara dengan ASEAN adalah bak mimpi disiang bolong. Mengapa demikian?
Dengan bekal kemampuan pemahaman bahasa Inggris yang sangat minim tersebut jelas sekali bahwa para dosen tersebut tidak akan mampu meningkatkan pengetahuannya dengan membaca buku-buku referensi dan jurnal yang berbahasa Inggris. Selama ini para mahasiswa program master kita hanyalah belajar melalui buku-buku terjemahan. Kalau ada diktat yang berbahasa Inggris maka mereka harus menerjemahkannya lebih dahulu agar bisa menyusun makalah dari diktat tersebut. Para master dan doktor yang baru bisa belajar jika materinya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia jelas tidak akan memiliki pemahaman yang lengkap mengenai materi yang dipelajarinya karena banyak konsep-konsep maupun istilah dalam bahasa Inggris yang sulit atau tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesa. Jika dipaksakan maka penerjemahannya akan ‘corrupted’ alias tidak mewakili pemahaman aslinya.
Jika para dosen tersebut tidak mampu ‘berkomunikasi’ dengan diktat berbahasa Inggris maka tentu saja ia tidak akan memberikan materi perkuliahannya dari diktat-diktat berbahasa Inggris. Padahal kita tahu belaka betapa terbatasnya buku-buku diktat kuliah yang sudah diterjemahkan dan betapa buruknya penerjemahan kita. Begitu sebuah buku diterjemahkan bisa dipastikan informasi yang disampaikan sudah agak basi karena sudah terbit lagi buku-buku baru dengan infomasi-informasi yang lebih ‘up to date’. Jadi ini adalah ‘pemiskinan akademis’ yang terstruktur. Jika kita hanya bisa menyerap 50% materi yang kita pelajari dan kita ajarkan pada mahasiswa kita maka maksimal mereka hanya akan menyerap 50 % s/d 80 % dari apa yang kita berikan. Dan begitu seterusnya sehingga sebetulnya mahasiswa kita sebenarnya hanya dapat menyerap 25% dari materi yang seharusnya ia peroleh sesuai dengan silabus. Dan pendidikan kita akan semakin tertinggal dan tertinggal karena ketidakmampuan dosen-dosen kita membaca materi berbahasa Inggris. Sungguh ironis!
Ini semakin membuktikan kekuatiran saya bahwa kualitas SDM kita dibidang pendidikan sudah masuk dalam fase krisis (hasil penelitian secara nasional menunjukkan bahwa 50 s/d 60 % guru-guru kita tidak layak mengajar) dan sampai saat ini saya masih belum melihat adanya visi dari pemerintah kita untuk memperbaiki keadaan ini. Just no vision at all.
Coba lihat ‘bekas murid’ kita Malaysia. dengan tegas mereka menetapkan bahwa menjelang 2005, 75 % dosen di perguruan tinggi haruslah sudah bertitel Ph.D alias Doktor. Selain itu menjelang 2010, 100 % guru sekolah menengah dan 50 % guru SD harus bertitel S-1. Ini artinya guru-guru dan dosen harus sekolah lagi dan cutinya ditanggung oleh negara alias dibayar penuh. Memang berat bagi guru dan dosen untuk bersekolah lagi, tapi itu memang tuntutannya. Kalau tak mampu memenuhi persyaratan dengan bersekolah lagi ya silakan cari pekerjaan lain. Profesi guru atau dosen bukanlah profesi sambilan yang bisa dikerjakan asal-asalan. Hanya mereka yang bersungguh-sungguh dan memiliki kualifikasi tertentu yang bisa memenuhi persyaratan tersebut.
Apa implikasinya jika pemerintah menetapkan demikian? Artinya pemerintah harus sudah memiliki perencanaan yang matang mengenai bagaimana meningkatkan kualifikasi para pendidik tersebut dalam jangka waktu tertentu. Sebagai contoh, jika kita bersungguh-sungguh ingin meningkatkan kualitas pendidikan di level perguruan tinggi maka kita harus berani menetapkan suatu target umpamanya 100 % dosen perguruan tinggi harus sudah berpendidikan Master S2 pada tahun 2008, umpamanya. Mereka yang belum mencapai level tersebut diminta untuk mengambil masternya sesuai dengan jurusan masing-masing (jangan seperti sekarang ini dimana hampir semua dosen mengambil MM untuk masternya padahal bukan bidang keilmuannya) dan jika sampai tahun 2008 belum mencapai master maka ia harus dilengserkan dari profesinya tersebut. Kejam? Lebih kejam lagi jika kita membiarkan kualitas pendidikan bagi anak-anak kita dimasa mendatang semakin terpuruk dan terpuruk karena toleransi kita yang berlebihan dalam kualitas dan membiarkan bangsa kita menjadi ‘mediocre’.
Jika suatu daerah yang memiliki umpamanya 200 dosen yang belum memiliki kualifikasi magister dan pemerintah bersedia mensubsidi Rp. 10.000.000,- bagi setiap dosen tersebut maka biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah hanyalah sebesar Rp. 2M. Suatu angka yang sama sekali tidak berarti dibandingkan dengan kualitas yang bisa kita capai dengan nila tersebut.
Kembali ke masalah bahasa Inggris, nampaknya kita masih akan menghadapi masalah yang sama sampai belasan tahun yang akan datang. Mengapa? Meskipun semangat untuk mempelajari bahasa Inggris semakin lama semakin kuat tapi tidak diikuti dengan pemahaman tentang bagaimana melakukan peningkatan kualitas tersebut secara komprehensif. Selama ini kita melakukan perbaikan tambal sulam dan selalu berharap perbaikan secara instan, umpamanya mengirim beberapa orang guru bahasa Inggris ke luar negeri untuk belajar sebulan sampai tiga bulan. Perbaikan kualitas pengajar maupun sarana dan prasarana belajarnya membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan konsisten.
Kualitas guru-guru bahasa Inggris kita saya yakin juga ‘sangat menyedihkan’ kualitasnya sehingga mengharapkan output yang berkualitas dari pengajar yang tidak berkuliatas adalah seperti katak merindukan bulan. Guru-guru yang tidak berkualitas jelas tidak akan mampu mengembangkan metodologi pengajarannya agar berkualitas, mudah dan menarik, apalagi jika harus menggunakan berbagai sumber informasi orisinil.
Sarana dan prasarana belajar juga sangat menentukan. Untuk dapat menguasai bahasa Inggris dengan baik kita harus melatih keempat komponen berbahasa yaitu : Listening, Speaking, Reading, dan Writing sebanyak mungkin. Ada ahli yang menyatakan bahwa minimal kita harus berlatih 10.000 jam agar dapat menguasainya.
Tapi apa yang bisa kita dengar jika kita tidak memiliki radio dan siaran berbahasa Inggris untuk melatih ‘listening’ kita? Bagaimana kita meningkatkan kemampuan ‘speaking’ kita jika tidak tersedia guru atau partner yang fasih berbahasa Inggris dan yang tersedia hanya guru-guru dan pelatih yang sama kacaunya bahasa Inggrisnya dengan kita? Bagaimana kita bisa berlatih ‘reading’ jika tidak ada bacaan ataupun media cetak yang memadai untuk itu?
Sebagai perbandingan, di Sabah maupun Sarawak ada beberapa radio, koran maupun media cetak yang berbahasa Inggris. Penerbitan buku-buku bacaan dalam bahasa Inggris juga marak. Bahkan buku Harry Poter yang tebalnya sebantal tersebut ‘sengaja’ tidak diterjemahkan dalam bahasa Melayu agar anak-anak SD mereka ‘terpaksa’ harus membaca dalam bahasa aslinya. Padahal bahasanya cukup berat meskipun bagi guru bahasa Inggris kita. Toh mereka tetap membacanya sehingga mereka memang telah benar-benar terbiasa membaca buku-buku dan media cetak berbahasa Inggris sejak kanak-kanak. Bandingkan dengan dosen magister kita yang untuk membaca makalah setebal 10 halaman saja harus membayar penerjemah agar mampu memahaminya.
Itulah sebabnya saya tidak mendukung muatan lokal bahasa Inggris di sekolah dasar kita karena kita memang tidak memiliki perangkat untuk itu. Sedangkan guru-guru bahasa Inggris di SMP dan SMA saja kita kekurangan lha kok malah ditambah dengan mulok bahasa Inggris di SD. Akhirnya mulok tersebut dilaksanakan dengan asal-asalan di SD-SD kita untuk memenuhi formalitas administratif belaka. Semangat sih boleh tapi kita tidak boleh naif dan menyederhanakan permasalahan hanya dengan semangat dan angan-angan besar. Kita harus sadar bahwa ada dampak negatif membayangi program asal-asalan tersebut. Dan itu ‘ongkos akademik’nya sangat besar dan harus dibayar di masa mendatang.
So what? Nampaknya memang tidak ada solusi instan bagi penyelesaian permasalahan pendidikan kita karena semuanya kait-mengait. Mungkin memang sudah saatnya kita belajar khusus pada ‘bekas murid’ kita Malaysia dalam menyusun strategi peningkatan kualitas pendidikan. Tak perlu malu-malu mengakui kelemahan kita. Toh mereka sudah terbukti berhasil ‘meleverage’ kualitas pendidikan mereka hanya dalam satu generasi sementara orientasi pendidikan kita semakin tidak jelas mau dibawa kemana.
Ada pendapat yang menarik mengenai pengajaran bahasa Inggris di Malaysia oleh Datuk Seri Rafidah Azis, pimpinan Wanita UMNO dan International Trade and Industry Minister di Kuala Lumpur tentang ketakutan beberapa orang di Malaysia bahwa bahasa Inggris akan mengurangi atau menghilangkan nasionalisme bangsa. “Ignore the language chauvinists,” katanya, “Master the English language. Or else, prepare to lose out as a nation.” . Mastering English "does not make one less Malay or less Malaysian", tambahnya.
Dengan bekal kemampuan pemahaman bahasa Inggris yang sangat minim tersebut jelas sekali bahwa para dosen tersebut tidak akan mampu meningkatkan pengetahuannya dengan membaca buku-buku referensi dan jurnal yang berbahasa Inggris. Selama ini para mahasiswa program master kita hanyalah belajar melalui buku-buku terjemahan. Kalau ada diktat yang berbahasa Inggris maka mereka harus menerjemahkannya lebih dahulu agar bisa menyusun makalah dari diktat tersebut. Para master dan doktor yang baru bisa belajar jika materinya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia jelas tidak akan memiliki pemahaman yang lengkap mengenai materi yang dipelajarinya karena banyak konsep-konsep maupun istilah dalam bahasa Inggris yang sulit atau tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesa. Jika dipaksakan maka penerjemahannya akan ‘corrupted’ alias tidak mewakili pemahaman aslinya.
Jika para dosen tersebut tidak mampu ‘berkomunikasi’ dengan diktat berbahasa Inggris maka tentu saja ia tidak akan memberikan materi perkuliahannya dari diktat-diktat berbahasa Inggris. Padahal kita tahu belaka betapa terbatasnya buku-buku diktat kuliah yang sudah diterjemahkan dan betapa buruknya penerjemahan kita. Begitu sebuah buku diterjemahkan bisa dipastikan informasi yang disampaikan sudah agak basi karena sudah terbit lagi buku-buku baru dengan infomasi-informasi yang lebih ‘up to date’. Jadi ini adalah ‘pemiskinan akademis’ yang terstruktur. Jika kita hanya bisa menyerap 50% materi yang kita pelajari dan kita ajarkan pada mahasiswa kita maka maksimal mereka hanya akan menyerap 50 % s/d 80 % dari apa yang kita berikan. Dan begitu seterusnya sehingga sebetulnya mahasiswa kita sebenarnya hanya dapat menyerap 25% dari materi yang seharusnya ia peroleh sesuai dengan silabus. Dan pendidikan kita akan semakin tertinggal dan tertinggal karena ketidakmampuan dosen-dosen kita membaca materi berbahasa Inggris. Sungguh ironis!
Ini semakin membuktikan kekuatiran saya bahwa kualitas SDM kita dibidang pendidikan sudah masuk dalam fase krisis (hasil penelitian secara nasional menunjukkan bahwa 50 s/d 60 % guru-guru kita tidak layak mengajar) dan sampai saat ini saya masih belum melihat adanya visi dari pemerintah kita untuk memperbaiki keadaan ini. Just no vision at all.
Coba lihat ‘bekas murid’ kita Malaysia. dengan tegas mereka menetapkan bahwa menjelang 2005, 75 % dosen di perguruan tinggi haruslah sudah bertitel Ph.D alias Doktor. Selain itu menjelang 2010, 100 % guru sekolah menengah dan 50 % guru SD harus bertitel S-1. Ini artinya guru-guru dan dosen harus sekolah lagi dan cutinya ditanggung oleh negara alias dibayar penuh. Memang berat bagi guru dan dosen untuk bersekolah lagi, tapi itu memang tuntutannya. Kalau tak mampu memenuhi persyaratan dengan bersekolah lagi ya silakan cari pekerjaan lain. Profesi guru atau dosen bukanlah profesi sambilan yang bisa dikerjakan asal-asalan. Hanya mereka yang bersungguh-sungguh dan memiliki kualifikasi tertentu yang bisa memenuhi persyaratan tersebut.
Apa implikasinya jika pemerintah menetapkan demikian? Artinya pemerintah harus sudah memiliki perencanaan yang matang mengenai bagaimana meningkatkan kualifikasi para pendidik tersebut dalam jangka waktu tertentu. Sebagai contoh, jika kita bersungguh-sungguh ingin meningkatkan kualitas pendidikan di level perguruan tinggi maka kita harus berani menetapkan suatu target umpamanya 100 % dosen perguruan tinggi harus sudah berpendidikan Master S2 pada tahun 2008, umpamanya. Mereka yang belum mencapai level tersebut diminta untuk mengambil masternya sesuai dengan jurusan masing-masing (jangan seperti sekarang ini dimana hampir semua dosen mengambil MM untuk masternya padahal bukan bidang keilmuannya) dan jika sampai tahun 2008 belum mencapai master maka ia harus dilengserkan dari profesinya tersebut. Kejam? Lebih kejam lagi jika kita membiarkan kualitas pendidikan bagi anak-anak kita dimasa mendatang semakin terpuruk dan terpuruk karena toleransi kita yang berlebihan dalam kualitas dan membiarkan bangsa kita menjadi ‘mediocre’.
Jika suatu daerah yang memiliki umpamanya 200 dosen yang belum memiliki kualifikasi magister dan pemerintah bersedia mensubsidi Rp. 10.000.000,- bagi setiap dosen tersebut maka biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah hanyalah sebesar Rp. 2M. Suatu angka yang sama sekali tidak berarti dibandingkan dengan kualitas yang bisa kita capai dengan nila tersebut.
Kembali ke masalah bahasa Inggris, nampaknya kita masih akan menghadapi masalah yang sama sampai belasan tahun yang akan datang. Mengapa? Meskipun semangat untuk mempelajari bahasa Inggris semakin lama semakin kuat tapi tidak diikuti dengan pemahaman tentang bagaimana melakukan peningkatan kualitas tersebut secara komprehensif. Selama ini kita melakukan perbaikan tambal sulam dan selalu berharap perbaikan secara instan, umpamanya mengirim beberapa orang guru bahasa Inggris ke luar negeri untuk belajar sebulan sampai tiga bulan. Perbaikan kualitas pengajar maupun sarana dan prasarana belajarnya membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan konsisten.
Kualitas guru-guru bahasa Inggris kita saya yakin juga ‘sangat menyedihkan’ kualitasnya sehingga mengharapkan output yang berkualitas dari pengajar yang tidak berkuliatas adalah seperti katak merindukan bulan. Guru-guru yang tidak berkualitas jelas tidak akan mampu mengembangkan metodologi pengajarannya agar berkualitas, mudah dan menarik, apalagi jika harus menggunakan berbagai sumber informasi orisinil.
Sarana dan prasarana belajar juga sangat menentukan. Untuk dapat menguasai bahasa Inggris dengan baik kita harus melatih keempat komponen berbahasa yaitu : Listening, Speaking, Reading, dan Writing sebanyak mungkin. Ada ahli yang menyatakan bahwa minimal kita harus berlatih 10.000 jam agar dapat menguasainya.
Tapi apa yang bisa kita dengar jika kita tidak memiliki radio dan siaran berbahasa Inggris untuk melatih ‘listening’ kita? Bagaimana kita meningkatkan kemampuan ‘speaking’ kita jika tidak tersedia guru atau partner yang fasih berbahasa Inggris dan yang tersedia hanya guru-guru dan pelatih yang sama kacaunya bahasa Inggrisnya dengan kita? Bagaimana kita bisa berlatih ‘reading’ jika tidak ada bacaan ataupun media cetak yang memadai untuk itu?
Sebagai perbandingan, di Sabah maupun Sarawak ada beberapa radio, koran maupun media cetak yang berbahasa Inggris. Penerbitan buku-buku bacaan dalam bahasa Inggris juga marak. Bahkan buku Harry Poter yang tebalnya sebantal tersebut ‘sengaja’ tidak diterjemahkan dalam bahasa Melayu agar anak-anak SD mereka ‘terpaksa’ harus membaca dalam bahasa aslinya. Padahal bahasanya cukup berat meskipun bagi guru bahasa Inggris kita. Toh mereka tetap membacanya sehingga mereka memang telah benar-benar terbiasa membaca buku-buku dan media cetak berbahasa Inggris sejak kanak-kanak. Bandingkan dengan dosen magister kita yang untuk membaca makalah setebal 10 halaman saja harus membayar penerjemah agar mampu memahaminya.
Itulah sebabnya saya tidak mendukung muatan lokal bahasa Inggris di sekolah dasar kita karena kita memang tidak memiliki perangkat untuk itu. Sedangkan guru-guru bahasa Inggris di SMP dan SMA saja kita kekurangan lha kok malah ditambah dengan mulok bahasa Inggris di SD. Akhirnya mulok tersebut dilaksanakan dengan asal-asalan di SD-SD kita untuk memenuhi formalitas administratif belaka. Semangat sih boleh tapi kita tidak boleh naif dan menyederhanakan permasalahan hanya dengan semangat dan angan-angan besar. Kita harus sadar bahwa ada dampak negatif membayangi program asal-asalan tersebut. Dan itu ‘ongkos akademik’nya sangat besar dan harus dibayar di masa mendatang.
So what? Nampaknya memang tidak ada solusi instan bagi penyelesaian permasalahan pendidikan kita karena semuanya kait-mengait. Mungkin memang sudah saatnya kita belajar khusus pada ‘bekas murid’ kita Malaysia dalam menyusun strategi peningkatan kualitas pendidikan. Tak perlu malu-malu mengakui kelemahan kita. Toh mereka sudah terbukti berhasil ‘meleverage’ kualitas pendidikan mereka hanya dalam satu generasi sementara orientasi pendidikan kita semakin tidak jelas mau dibawa kemana.
Ada pendapat yang menarik mengenai pengajaran bahasa Inggris di Malaysia oleh Datuk Seri Rafidah Azis, pimpinan Wanita UMNO dan International Trade and Industry Minister di Kuala Lumpur tentang ketakutan beberapa orang di Malaysia bahwa bahasa Inggris akan mengurangi atau menghilangkan nasionalisme bangsa. “Ignore the language chauvinists,” katanya, “Master the English language. Or else, prepare to lose out as a nation.” . Mastering English "does not make one less Malay or less Malaysian", tambahnya.
BELAJAR MENURUT PANDANGAN PIAGET
Piaget berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu. Sebab individu melakukan interaksi terus-menerus dengan lingkungan. Lingkungan tersebut mengalami perubahan. Dengan adanya interaksi dengan lingkungan maka fungsi intelek semakin berkembang.
Perkembangan intelektual malalui tahap-tahap berikut .
(i).Sensori motor ( 0-2 tahun).
(ii). Pra-operasional (2-7 tahun)
(iii).Operasional konkret (7-11 tahun)
(iv).Operasional formal (> 11 tahun keatas)
Pada tahap sensori motor anak mengenal lingkungan dengan kemampuan sensorik dan motorik. Anak mengenal lingkungan dengan penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan dan menggerak-gerakannya.
Pada tahap pra- operasional , anak mengandalkan diri pada persepi tentang realitas. Ia telah mampu menggunakan symbol , bahasa, konsep sederhana, berpartisipasi, membuat gambar dan menggolong-golongkan.
Pada tahap Operasi Konkret anak dapat mengembangkan pikiran logis. Ia dapat mengikuti penalaran logis , walau kadang-kadang memecahkan masalah secara “trial and error’ .
Pada tahap operasional Formal anak dapat berfikir abstrak seperti pada orang dewasa.
Pengetahuan dibangun dalam pikiran . Setiap individu membangun sendiri pengetahuannya. Pengetahuan yang dibangun terdiri dari tiga bentuk yaitu pengetahuan fisik, pengetahuan logika matematik, dan pengetahuan social.
Belajar pengetahuan meliputi tiga fase . Fase-fase itu adalah fase ekplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep. Dalam fase eksplorasi, siswa mempelajari gejala dengan bimbingan. Dalam fase pengenalan konsep, siswa mengenal konsep yang ada hubungannya dengan gejala. Dalam fase aplikasi konsep, siswa menggunakan konsep untuk meneliti gejala lain lebih lanjut.
Menurut piaget, pembelajaran terdiri dari empat langkah berikut, yaitu:
(A). Langkah pertama : Menentukan topic yang dapat dipelajari oleh anak sendiri.
(B). Langkah kedua: Memilih dan mengembangkan aktivitas kelas dengan topic tersebut.
(C). Langkah ketiga: Mengetahui adanya kesempatan bagi guru untuk menggunakan pertanyaan yang menunjang proses pemecahan maslah.
(D). Langkah empat: Menilai pelaksanaan tiap kegiatan, memperhatikan keberhasilan, dan melakukan revisi.
Secara singkat, piaget menyarankan agar dalam pembelajaran guru memilih masalah yang berciri kegiatan prediksi, eksperimentasi, dan eksplansi.
Perkembangan intelektual malalui tahap-tahap berikut .
(i).Sensori motor ( 0-2 tahun).
(ii). Pra-operasional (2-7 tahun)
(iii).Operasional konkret (7-11 tahun)
(iv).Operasional formal (> 11 tahun keatas)
Pada tahap sensori motor anak mengenal lingkungan dengan kemampuan sensorik dan motorik. Anak mengenal lingkungan dengan penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan dan menggerak-gerakannya.
Pada tahap pra- operasional , anak mengandalkan diri pada persepi tentang realitas. Ia telah mampu menggunakan symbol , bahasa, konsep sederhana, berpartisipasi, membuat gambar dan menggolong-golongkan.
Pada tahap Operasi Konkret anak dapat mengembangkan pikiran logis. Ia dapat mengikuti penalaran logis , walau kadang-kadang memecahkan masalah secara “trial and error’ .
Pada tahap operasional Formal anak dapat berfikir abstrak seperti pada orang dewasa.
Pengetahuan dibangun dalam pikiran . Setiap individu membangun sendiri pengetahuannya. Pengetahuan yang dibangun terdiri dari tiga bentuk yaitu pengetahuan fisik, pengetahuan logika matematik, dan pengetahuan social.
Belajar pengetahuan meliputi tiga fase . Fase-fase itu adalah fase ekplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep. Dalam fase eksplorasi, siswa mempelajari gejala dengan bimbingan. Dalam fase pengenalan konsep, siswa mengenal konsep yang ada hubungannya dengan gejala. Dalam fase aplikasi konsep, siswa menggunakan konsep untuk meneliti gejala lain lebih lanjut.
Menurut piaget, pembelajaran terdiri dari empat langkah berikut, yaitu:
(A). Langkah pertama : Menentukan topic yang dapat dipelajari oleh anak sendiri.
(B). Langkah kedua: Memilih dan mengembangkan aktivitas kelas dengan topic tersebut.
(C). Langkah ketiga: Mengetahui adanya kesempatan bagi guru untuk menggunakan pertanyaan yang menunjang proses pemecahan maslah.
(D). Langkah empat: Menilai pelaksanaan tiap kegiatan, memperhatikan keberhasilan, dan melakukan revisi.
Secara singkat, piaget menyarankan agar dalam pembelajaran guru memilih masalah yang berciri kegiatan prediksi, eksperimentasi, dan eksplansi.
BELAJAR MENURUT PANDANGAN PIAGET
Piaget berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu. Sebab individu melakukan interaksi terus-menerus dengan lingkungan. Lingkungan tersebut mengalami perubahan. Dengan adanya interaksi dengan lingkungan maka fungsi intelek semakin berkembang.
Perkembangan intelektual malalui tahap-tahap berikut .
(i).Sensori motor ( 0-2 tahun).
(ii). Pra-operasional (2-7 tahun)
(iii).Operasional konkret (7-11 tahun)
(iv).Operasional formal (> 11 tahun keatas)
Pada tahap sensori motor anak mengenal lingkungan dengan kemampuan sensorik dan motorik. Anak mengenal lingkungan dengan penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan dan menggerak-gerakannya.
Pada tahap pra- operasional , anak mengandalkan diri pada persepi tentang realitas. Ia telah mampu menggunakan symbol , bahasa, konsep sederhana, berpartisipasi, membuat gambar dan menggolong-golongkan.
Pada tahap Operasi Konkret anak dapat mengembangkan pikiran logis. Ia dapat mengikuti penalaran logis , walau kadang-kadang memecahkan masalah secara “trial and error’ .
Pada tahap operasional Formal anak dapat berfikir abstrak seperti pada orang dewasa.
Pengetahuan dibangun dalam pikiran . Setiap individu membangun sendiri pengetahuannya. Pengetahuan yang dibangun terdiri dari tiga bentuk yaitu pengetahuan fisik, pengetahuan logika matematik, dan pengetahuan social.
Belajar pengetahuan meliputi tiga fase . Fase-fase itu adalah fase ekplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep. Dalam fase eksplorasi, siswa mempelajari gejala dengan bimbingan. Dalam fase pengenalan konsep, siswa mengenal konsep yang ada hubungannya dengan gejala. Dalam fase aplikasi konsep, siswa menggunakan konsep untuk meneliti gejala lain lebih lanjut.
Menurut piaget, pembelajaran terdiri dari empat langkah berikut, yaitu:
(A). Langkah pertama : Menentukan topic yang dapat dipelajari oleh anak sendiri.
(B). Langkah kedua: Memilih dan mengembangkan aktivitas kelas dengan topic tersebut.
(C). Langkah ketiga: Mengetahui adanya kesempatan bagi guru untuk menggunakan pertanyaan yang menunjang proses pemecahan maslah.
(D). Langkah empat: Menilai pelaksanaan tiap kegiatan, memperhatikan keberhasilan, dan melakukan revisi.
Secara singkat, piaget menyarankan agar dalam pembelajaran guru memilih masalah yang berciri kegiatan prediksi, eksperimentasi, dan eksplansi.
Perkembangan intelektual malalui tahap-tahap berikut .
(i).Sensori motor ( 0-2 tahun).
(ii). Pra-operasional (2-7 tahun)
(iii).Operasional konkret (7-11 tahun)
(iv).Operasional formal (> 11 tahun keatas)
Pada tahap sensori motor anak mengenal lingkungan dengan kemampuan sensorik dan motorik. Anak mengenal lingkungan dengan penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan dan menggerak-gerakannya.
Pada tahap pra- operasional , anak mengandalkan diri pada persepi tentang realitas. Ia telah mampu menggunakan symbol , bahasa, konsep sederhana, berpartisipasi, membuat gambar dan menggolong-golongkan.
Pada tahap Operasi Konkret anak dapat mengembangkan pikiran logis. Ia dapat mengikuti penalaran logis , walau kadang-kadang memecahkan masalah secara “trial and error’ .
Pada tahap operasional Formal anak dapat berfikir abstrak seperti pada orang dewasa.
Pengetahuan dibangun dalam pikiran . Setiap individu membangun sendiri pengetahuannya. Pengetahuan yang dibangun terdiri dari tiga bentuk yaitu pengetahuan fisik, pengetahuan logika matematik, dan pengetahuan social.
Belajar pengetahuan meliputi tiga fase . Fase-fase itu adalah fase ekplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep. Dalam fase eksplorasi, siswa mempelajari gejala dengan bimbingan. Dalam fase pengenalan konsep, siswa mengenal konsep yang ada hubungannya dengan gejala. Dalam fase aplikasi konsep, siswa menggunakan konsep untuk meneliti gejala lain lebih lanjut.
Menurut piaget, pembelajaran terdiri dari empat langkah berikut, yaitu:
(A). Langkah pertama : Menentukan topic yang dapat dipelajari oleh anak sendiri.
(B). Langkah kedua: Memilih dan mengembangkan aktivitas kelas dengan topic tersebut.
(C). Langkah ketiga: Mengetahui adanya kesempatan bagi guru untuk menggunakan pertanyaan yang menunjang proses pemecahan maslah.
(D). Langkah empat: Menilai pelaksanaan tiap kegiatan, memperhatikan keberhasilan, dan melakukan revisi.
Secara singkat, piaget menyarankan agar dalam pembelajaran guru memilih masalah yang berciri kegiatan prediksi, eksperimentasi, dan eksplansi.
IQ, EQ dan SQ; dari Kecerdasan Tunggal ke Kecerdasan Majemuk
Kecerdasan merupakan salah satu anugerah besar dari Allah SWT kepada manusia dan menjadikannya sebagai salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan kecerdasannya, manusia dapat terus menerus mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks, melalui proses berfikir dan belajar secara terus menerus.
Dalam pandangan psikologi, sesungguhnya hewan pun diberikan kecerdasan namun dalam kapasitas yang sangat terbatas. Oleh karena itu untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya lebih banyak dilakukan secara instingtif (naluriah). Berdasarkan temuan dalam bidang antropologi, kita mengetahui bahwa jutaan tahun yang lalu di muka bumi ini pernah hidup makhluk yang dinamakan Dinosaurus yaitu sejenis hewan yang secara fisik jauh lebih besar dan kuat dibandingkan dengan manusia. Namun saat ini mereka telah punah dan kita hanya dapat mengenali mereka dari fosil-fosilnya yang disimpan di musium-musium tertentu. Boleh jadi, secara langsung maupun tidak langsung, kepunahan mereka salah satunya disebabkan oleh faktor keterbatasan kecerdasan yang dimilikinya. Dalam hal ini, sudah sepantasnya manusia bersyukur, meski secara fisik tidak begitu besar dan kuat, namun berkat kecerdasan yang dimilikinya hingga saat ini manusia ternyata masih dapat mempertahankan kelangsungan dan peradaban hidupnya.
Lantas, apa sesungguhnya kecerdasan itu ? Sebenarnya hingga saat ini para ahli pun tampaknya masih mengalami kesulitan untuk mencari rumusan yang komprehensif tentang kecerdasan. Dalam hal ini, C.P. Chaplin (1975) memberikan pengertian kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Sementara itu, Anita E. Woolfolk (1975) mengemukan bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu : (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk beradaptasi dengan dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya.
Memang, semula kajian tentang kecerdasan hanya sebatas kemampuan individu yang bertautan dengan aspek kognitif atau biasa disebut Kecerdasan Intelektual yang bersifat tunggal, sebagaimana yang dikembangkan oleh Charles Spearman (1904) dengan teori “Two Factor”-nya, atau Thurstone (1938) dengan teori “Primary Mental Abilities”-nya. Dari kajian ini, menghasilkan pengelompokkan kecerdasan manusia yang dinyatakan dalam bentuk Inteligent Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan perbandingan antara tingkat kemampuan mental (mental age) dengan tingkat usia (chronological age), merentang mulai dari kemampuan dengan kategori Ideot sampai dengan Genius (Weschler dalam Nana Syaodih, 2005). Istilah IQ mula-mula diperkenalkan oleh Alfred Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian, Lewis Terman dari Universitas Stanford berusaha membakukan tes IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mempertimbangkan norma-norma populasi sehingga selanjutnya dikenal sebagai tes Stanford-Binet.
Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang.
Adalah Daniel Goleman (1999), salah seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Menurut hemat penulis sesungguhnya penggunaan istilah EQ ini tidaklah sepenuhnya tepat dan terkesan sterotype (latah) mengikuti popularitas IQ yang lebih dulu dikenal orang. Penggunaan konsep Quotient dalam EQ belum begitu jelas perumusannya. Berbeda dengan IQ, pengertian Quotient disana sangat jelas menunjuk kepada hasil bagi antara usia mental (mental age) yang dihasilkan melalui pengukuran psikologis yang ketat dengan usia kalender (chronological age).
Terlepas dari “kesalahkaprahan” penggunaan istilah tersebut, ada satu hal yang perlu digarisbawahi dari para “penggagas beserta pengikut kelompok kecerdasan emosional”, bahwasanya potensi individu dalam aspek-aspek “non-intelektual” yang berkaitan dengan sikap, motivasi, sosiabilitas, serta aspek – aspek emosional lainnya, merupakan faktor-faktor yang amat penting bagi pencapaian kesuksesan seseorang.
Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cenderung bersifat permanen, kecakapan emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan dimodifikasi kapan saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan untuk meraih sukses atau prestasi hidup.
Pekembangan berikutnya dalam usaha untuk menguak rahasia kecerdasan manusia adalah berkaitan dengan fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan. Kecerdasan intelelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) dipandang masih berdimensi horisontal-materialistik belaka (manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial) dan belum menyentuh persoalan inti kehidupan yang menyangkut fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (dimensi vertikal-spiritual). Berangkat dari pandangan bahwa sehebat apapun manusia dengan kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosionalnya. pada saat-saat tertentu, melalui pertimbangan fungsi afektif, kognitif, dan konatifnya manusia akan meyakini dan menerima tanpa keraguan bahwa di luar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha Agung yang melebihi apa pun, termasuk dirinya. Penghayatan seperti itu menurut Zakiah Darajat (1970) disebut sebagai pengalaman keagamaan (religious experience).
Brightman (1956) menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan tidak hanya sampai kepada pengakuan atas kebaradaan-Nya, namun juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan alam semesta raya ini. Oleh karena itu, manusia akan tunduk dan berupaya untuk mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual tertentu, baik secara individual maupun kolektif, secara simbolik maupun dalam bentuk nyata kehidupan sehari-hari (Abin Syamsuddin Makmun, 2003).
Temuan ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dan riset yang dilakukan oleh Michael Persinger pada tahun 1990-an, serta riset yang dikembangkan oleh V.S. Ramachandran pada tahun 1997 menemukan adanya God Spot dalam otak manusia, yang sudah secara built-in merupakan pusat spiritual (spiritual centre), yang terletak diantara jaringan syaraf dan otak. Begitu juga hasil riset yang dilakukan oleh Wolf Singer menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan yang secara literal mengikat pengalaman kita secara bersama untuk hidup lebih bermakna. Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam (Ari Ginanjar, 2001). Kajian tentang God Spot inilah pada gilirannya melahirkan konsep Kecerdasan Spiritual, yakni suatu kemampuan manusia yang berkenaan dengan usaha memberikan penghayatan bagaimana agar hidup ini lebih bermakna. Dengan istilah yang salah kaprahnya disebut Spiritual Quotient (SQ)
Jauh sebelum istilah Kecerdasan Spiritual atau SQ dipopulerkan, pada tahun 1938 Frankl telah mengembangkan pemikiran tentang upaya pemaknaan hidup. Dikemukakannya, bahwa makna atau logo hidup harus dicari oleh manusia, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai : (1) nilai kreatif; (2) nilai pengalaman dan (3) nilai sikap. Makna hidup yang diperoleh manusia akan menjadikan dirinya menjadi seorang yang memiliki kebebasan rohani yakni suatu kebebasan manusia dari godaan nafsu, keserakahan, dan lingkungan yang penuh persaingan dan konflik. Untuk menunjang kebebasan rohani itu dituntut tanggung jawab terhadap Tuhan, diri dan manusia lainnya. Menjadi manusia adalah kesadaran dan tanggung jawab (Sofyan S. Willis, 2005).
Di Indonesia, penulis mencatat ada dua orang yang berjasa besar dalam mengembangkan dan mempopulerkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yaitu K.H. Abdullah Gymnastiar atau dikenal AA Gym, da’i kondang dari Pesantren Daarut Tauhiid – Bandung dengan Manajemen Qalbu-nya dan Ary Ginanjar, pengusaha muda yang banyak bergerak dalam bidang pengembangan Sumber Daya Manusia dengan Emotional Spritual Quotient (ESQ)-nya.
Dari pemikiran Ary Ginanjar Agustian melahirkan satu model pelatihan ESQ yang telah memiliki hak patent tersendiri. Konsep pelatihan ESQ ala Ary Ginanjar Agustian menekankan tentang : (1) Zero Mind Process; yakni suatu usaha untuk menjernihkan kembali pemikiran menuju God Spot (fitrah), kembali kepada hati dan fikiran yang bersifat merdeka dan bebas dari belenggu; (2) Mental Building; yaitu usaha untuk menciptakan format berfikir dan emosi berdasarkan kesadaran diri (self awareness), serta sesuai dengan hati nurani dengan merujuk pada Rukun Iman; (3) Mission Statement, Character Building, dan Self Controlling; yaitu usaha untuk menghasilkan ketangguhan pribadi (personal strength) dengan merujuk pada Rukun Islam; (4) Strategic Collaboration; usaha untuk melakukan aliansi atau sinergi dengan orang lain atau dengan lingkungan sosialnya untuk mewujudkan tanggung jawab sosial individu; dan (5) Total Action; yaitu suatu usaha untuk membangun ketangguhan sosial (Ari Ginanjar, 2001).
Berkembangnya pemikiran tentang kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) menjadikan rumusan dan makna tentang kecerdasan semakin lebih luas. Kecerdasan tidak lagi ditafsirkan secara tunggal dalam batasan intelektual saja. Menurut Gardner bahwa “salah besar bila kita mengasumsikan bahwa IQ adalah suatu entitas tunggal yang tetap, yang bisa diukur dengan tes menggunakan pensil dan kertas”. Hasil pemikiran cerdasnya dituangkan dalam buku Frames of Mind.. Dalam buku tersebut secara meyakinkan menawarkan penglihatan dan cara pandang alternatif terhadap kecerdasan manusia, yang kemudian dikenal dengan istilah Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence) (Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, 2002) .
Berkat kecerdasan intelektualnya, memang manusia telah mampu menjelajah ke Bulan dan luar angkasa lainnya, menciptakan teknologi informasi dan transportasi yang menjadikan dunia terasa lebih dekat dan semakin transparan, menciptakan bom nuklir, serta menciptakan alat-alat teknologi lainnya yang super canggih. Namun bersamaan itu pula kerusakan yang menuju kehancuran total sudah mulai nampak. Lingkungan alam merasa terusik dan tidak bersahabat lagi. Lapisan ozon yang semakin menipis telah menyebabkan terjadinya pemanasan global, banjir dan kekeringan pun terjadi di mana-mana Gunung-gunung menggeliat dan memuntahkan awan dan lahar panasnya. Penyakit-penyakit ragawi yang sebelumnya tidak dikenal, mulai bermunculan, seperti Flu Burung (Avian Influenza), AIDs serta jenis-jenis penyakit mematikan lainnya. Bahkan, tatanan sosial-ekonomi menjadi kacau balau karena sikap dan perilaku manusia yang mengabaikan kejujuran dan amanah (perilaku koruptif dan perilaku manipulatif).
Manusia telah berhasil menciptakan “raksasa-raksasa teknologi” yang dapat memberikan manfaat bagi kepentingan hidup manusia itu sendiri. Namun dibalik itu, “raksasa-raksasa teknologi” tersebut telah bersiap-siap untuk menerkam dan menghabisi manusia itu sendiri. Kecerdasan intelektual yang tidak diiringi dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritualnya, tampaknya hanya akan menghasilkan kerusakan dan kehancuran bagi kehidupan dirinya maupun umat manusia. Dengan demikian, apakah memang pada akhirnya kita pun harus bernasib sama seperti Dinosaurus ?
Dengan tidak bermaksud mempertentangkan mana yang paling penting, apakah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional atau kecerdasan spiritual, ada baiknya kita mengambil pilihan eklektik dari ketiga pilihan tersebut. Dengan meminjam filosofi klasik masyarakat Jawa Barat, yaitu cageur, bageur, bener tur pinter, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa dengan kecerdasan intelektualnya (IQ) orang menjadi cageur dan pinter, dengan kecerdasan emosional (EQ) orang menjadi bageur, dan dengan kecerdasan spiritualnya (SQ) orang menjadi bener. Itulah agaknya pilihan yang bijak bagi kita sebagai pribadi maupun sebagai pendidik (calon pendidik) !
Sebagai pribadi, salah satu tugas besar kita dalam hidup ini adalah berusaha mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang kita miliki, melalui upaya belajar (learning to do, learning to know (IQ), learning to be (SQ), dan learning to live together (EQ), serta berusaha untuk memperbaiki kualitas diri-pribadi secara terus-menerus, hingga pada akhirnya dapat diperoleh aktualisasi diri dan prestasi hidup yang sesungguhnya (real achievement).
Sebagai pendidik (calon pendidik), dalam mewujudkan diri sebagai pendidik yang profesional dan bermakna, tugas kemanusiaan kita adalah berusaha membelajarkan para peserta didik untuk dapat mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang dimilikinya, melalui pendekatan dan proses pembelajaran yang bermakna (Meaningful Learning) (SQ), menyenangkan (Joyful Learning) (EQ) dan menantang atau problematis (problematical Learning) (IQ), sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang cageur, bageur, bener, tur pinter.
Sebagai penutup tulisan ini, mari kita renungkan ungkapan dari Howard Gardner bahwa : “BUKAN SEBERAPA CERDAS ANDA TETAPI BAGAIMANA ANDA MENJADI CERDAS ! ”
Dalam pandangan psikologi, sesungguhnya hewan pun diberikan kecerdasan namun dalam kapasitas yang sangat terbatas. Oleh karena itu untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya lebih banyak dilakukan secara instingtif (naluriah). Berdasarkan temuan dalam bidang antropologi, kita mengetahui bahwa jutaan tahun yang lalu di muka bumi ini pernah hidup makhluk yang dinamakan Dinosaurus yaitu sejenis hewan yang secara fisik jauh lebih besar dan kuat dibandingkan dengan manusia. Namun saat ini mereka telah punah dan kita hanya dapat mengenali mereka dari fosil-fosilnya yang disimpan di musium-musium tertentu. Boleh jadi, secara langsung maupun tidak langsung, kepunahan mereka salah satunya disebabkan oleh faktor keterbatasan kecerdasan yang dimilikinya. Dalam hal ini, sudah sepantasnya manusia bersyukur, meski secara fisik tidak begitu besar dan kuat, namun berkat kecerdasan yang dimilikinya hingga saat ini manusia ternyata masih dapat mempertahankan kelangsungan dan peradaban hidupnya.
Lantas, apa sesungguhnya kecerdasan itu ? Sebenarnya hingga saat ini para ahli pun tampaknya masih mengalami kesulitan untuk mencari rumusan yang komprehensif tentang kecerdasan. Dalam hal ini, C.P. Chaplin (1975) memberikan pengertian kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Sementara itu, Anita E. Woolfolk (1975) mengemukan bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu : (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk beradaptasi dengan dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya.
Memang, semula kajian tentang kecerdasan hanya sebatas kemampuan individu yang bertautan dengan aspek kognitif atau biasa disebut Kecerdasan Intelektual yang bersifat tunggal, sebagaimana yang dikembangkan oleh Charles Spearman (1904) dengan teori “Two Factor”-nya, atau Thurstone (1938) dengan teori “Primary Mental Abilities”-nya. Dari kajian ini, menghasilkan pengelompokkan kecerdasan manusia yang dinyatakan dalam bentuk Inteligent Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan perbandingan antara tingkat kemampuan mental (mental age) dengan tingkat usia (chronological age), merentang mulai dari kemampuan dengan kategori Ideot sampai dengan Genius (Weschler dalam Nana Syaodih, 2005). Istilah IQ mula-mula diperkenalkan oleh Alfred Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian, Lewis Terman dari Universitas Stanford berusaha membakukan tes IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mempertimbangkan norma-norma populasi sehingga selanjutnya dikenal sebagai tes Stanford-Binet.
Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang.
Adalah Daniel Goleman (1999), salah seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Menurut hemat penulis sesungguhnya penggunaan istilah EQ ini tidaklah sepenuhnya tepat dan terkesan sterotype (latah) mengikuti popularitas IQ yang lebih dulu dikenal orang. Penggunaan konsep Quotient dalam EQ belum begitu jelas perumusannya. Berbeda dengan IQ, pengertian Quotient disana sangat jelas menunjuk kepada hasil bagi antara usia mental (mental age) yang dihasilkan melalui pengukuran psikologis yang ketat dengan usia kalender (chronological age).
Terlepas dari “kesalahkaprahan” penggunaan istilah tersebut, ada satu hal yang perlu digarisbawahi dari para “penggagas beserta pengikut kelompok kecerdasan emosional”, bahwasanya potensi individu dalam aspek-aspek “non-intelektual” yang berkaitan dengan sikap, motivasi, sosiabilitas, serta aspek – aspek emosional lainnya, merupakan faktor-faktor yang amat penting bagi pencapaian kesuksesan seseorang.
Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cenderung bersifat permanen, kecakapan emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan dimodifikasi kapan saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan untuk meraih sukses atau prestasi hidup.
Pekembangan berikutnya dalam usaha untuk menguak rahasia kecerdasan manusia adalah berkaitan dengan fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan. Kecerdasan intelelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) dipandang masih berdimensi horisontal-materialistik belaka (manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial) dan belum menyentuh persoalan inti kehidupan yang menyangkut fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (dimensi vertikal-spiritual). Berangkat dari pandangan bahwa sehebat apapun manusia dengan kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosionalnya. pada saat-saat tertentu, melalui pertimbangan fungsi afektif, kognitif, dan konatifnya manusia akan meyakini dan menerima tanpa keraguan bahwa di luar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha Agung yang melebihi apa pun, termasuk dirinya. Penghayatan seperti itu menurut Zakiah Darajat (1970) disebut sebagai pengalaman keagamaan (religious experience).
Brightman (1956) menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan tidak hanya sampai kepada pengakuan atas kebaradaan-Nya, namun juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan alam semesta raya ini. Oleh karena itu, manusia akan tunduk dan berupaya untuk mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual tertentu, baik secara individual maupun kolektif, secara simbolik maupun dalam bentuk nyata kehidupan sehari-hari (Abin Syamsuddin Makmun, 2003).
Temuan ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dan riset yang dilakukan oleh Michael Persinger pada tahun 1990-an, serta riset yang dikembangkan oleh V.S. Ramachandran pada tahun 1997 menemukan adanya God Spot dalam otak manusia, yang sudah secara built-in merupakan pusat spiritual (spiritual centre), yang terletak diantara jaringan syaraf dan otak. Begitu juga hasil riset yang dilakukan oleh Wolf Singer menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan yang secara literal mengikat pengalaman kita secara bersama untuk hidup lebih bermakna. Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam (Ari Ginanjar, 2001). Kajian tentang God Spot inilah pada gilirannya melahirkan konsep Kecerdasan Spiritual, yakni suatu kemampuan manusia yang berkenaan dengan usaha memberikan penghayatan bagaimana agar hidup ini lebih bermakna. Dengan istilah yang salah kaprahnya disebut Spiritual Quotient (SQ)
Jauh sebelum istilah Kecerdasan Spiritual atau SQ dipopulerkan, pada tahun 1938 Frankl telah mengembangkan pemikiran tentang upaya pemaknaan hidup. Dikemukakannya, bahwa makna atau logo hidup harus dicari oleh manusia, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai : (1) nilai kreatif; (2) nilai pengalaman dan (3) nilai sikap. Makna hidup yang diperoleh manusia akan menjadikan dirinya menjadi seorang yang memiliki kebebasan rohani yakni suatu kebebasan manusia dari godaan nafsu, keserakahan, dan lingkungan yang penuh persaingan dan konflik. Untuk menunjang kebebasan rohani itu dituntut tanggung jawab terhadap Tuhan, diri dan manusia lainnya. Menjadi manusia adalah kesadaran dan tanggung jawab (Sofyan S. Willis, 2005).
Di Indonesia, penulis mencatat ada dua orang yang berjasa besar dalam mengembangkan dan mempopulerkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yaitu K.H. Abdullah Gymnastiar atau dikenal AA Gym, da’i kondang dari Pesantren Daarut Tauhiid – Bandung dengan Manajemen Qalbu-nya dan Ary Ginanjar, pengusaha muda yang banyak bergerak dalam bidang pengembangan Sumber Daya Manusia dengan Emotional Spritual Quotient (ESQ)-nya.
Dari pemikiran Ary Ginanjar Agustian melahirkan satu model pelatihan ESQ yang telah memiliki hak patent tersendiri. Konsep pelatihan ESQ ala Ary Ginanjar Agustian menekankan tentang : (1) Zero Mind Process; yakni suatu usaha untuk menjernihkan kembali pemikiran menuju God Spot (fitrah), kembali kepada hati dan fikiran yang bersifat merdeka dan bebas dari belenggu; (2) Mental Building; yaitu usaha untuk menciptakan format berfikir dan emosi berdasarkan kesadaran diri (self awareness), serta sesuai dengan hati nurani dengan merujuk pada Rukun Iman; (3) Mission Statement, Character Building, dan Self Controlling; yaitu usaha untuk menghasilkan ketangguhan pribadi (personal strength) dengan merujuk pada Rukun Islam; (4) Strategic Collaboration; usaha untuk melakukan aliansi atau sinergi dengan orang lain atau dengan lingkungan sosialnya untuk mewujudkan tanggung jawab sosial individu; dan (5) Total Action; yaitu suatu usaha untuk membangun ketangguhan sosial (Ari Ginanjar, 2001).
Berkembangnya pemikiran tentang kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) menjadikan rumusan dan makna tentang kecerdasan semakin lebih luas. Kecerdasan tidak lagi ditafsirkan secara tunggal dalam batasan intelektual saja. Menurut Gardner bahwa “salah besar bila kita mengasumsikan bahwa IQ adalah suatu entitas tunggal yang tetap, yang bisa diukur dengan tes menggunakan pensil dan kertas”. Hasil pemikiran cerdasnya dituangkan dalam buku Frames of Mind.. Dalam buku tersebut secara meyakinkan menawarkan penglihatan dan cara pandang alternatif terhadap kecerdasan manusia, yang kemudian dikenal dengan istilah Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence) (Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, 2002) .
Berkat kecerdasan intelektualnya, memang manusia telah mampu menjelajah ke Bulan dan luar angkasa lainnya, menciptakan teknologi informasi dan transportasi yang menjadikan dunia terasa lebih dekat dan semakin transparan, menciptakan bom nuklir, serta menciptakan alat-alat teknologi lainnya yang super canggih. Namun bersamaan itu pula kerusakan yang menuju kehancuran total sudah mulai nampak. Lingkungan alam merasa terusik dan tidak bersahabat lagi. Lapisan ozon yang semakin menipis telah menyebabkan terjadinya pemanasan global, banjir dan kekeringan pun terjadi di mana-mana Gunung-gunung menggeliat dan memuntahkan awan dan lahar panasnya. Penyakit-penyakit ragawi yang sebelumnya tidak dikenal, mulai bermunculan, seperti Flu Burung (Avian Influenza), AIDs serta jenis-jenis penyakit mematikan lainnya. Bahkan, tatanan sosial-ekonomi menjadi kacau balau karena sikap dan perilaku manusia yang mengabaikan kejujuran dan amanah (perilaku koruptif dan perilaku manipulatif).
Manusia telah berhasil menciptakan “raksasa-raksasa teknologi” yang dapat memberikan manfaat bagi kepentingan hidup manusia itu sendiri. Namun dibalik itu, “raksasa-raksasa teknologi” tersebut telah bersiap-siap untuk menerkam dan menghabisi manusia itu sendiri. Kecerdasan intelektual yang tidak diiringi dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritualnya, tampaknya hanya akan menghasilkan kerusakan dan kehancuran bagi kehidupan dirinya maupun umat manusia. Dengan demikian, apakah memang pada akhirnya kita pun harus bernasib sama seperti Dinosaurus ?
Dengan tidak bermaksud mempertentangkan mana yang paling penting, apakah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional atau kecerdasan spiritual, ada baiknya kita mengambil pilihan eklektik dari ketiga pilihan tersebut. Dengan meminjam filosofi klasik masyarakat Jawa Barat, yaitu cageur, bageur, bener tur pinter, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa dengan kecerdasan intelektualnya (IQ) orang menjadi cageur dan pinter, dengan kecerdasan emosional (EQ) orang menjadi bageur, dan dengan kecerdasan spiritualnya (SQ) orang menjadi bener. Itulah agaknya pilihan yang bijak bagi kita sebagai pribadi maupun sebagai pendidik (calon pendidik) !
Sebagai pribadi, salah satu tugas besar kita dalam hidup ini adalah berusaha mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang kita miliki, melalui upaya belajar (learning to do, learning to know (IQ), learning to be (SQ), dan learning to live together (EQ), serta berusaha untuk memperbaiki kualitas diri-pribadi secara terus-menerus, hingga pada akhirnya dapat diperoleh aktualisasi diri dan prestasi hidup yang sesungguhnya (real achievement).
Sebagai pendidik (calon pendidik), dalam mewujudkan diri sebagai pendidik yang profesional dan bermakna, tugas kemanusiaan kita adalah berusaha membelajarkan para peserta didik untuk dapat mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang dimilikinya, melalui pendekatan dan proses pembelajaran yang bermakna (Meaningful Learning) (SQ), menyenangkan (Joyful Learning) (EQ) dan menantang atau problematis (problematical Learning) (IQ), sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang cageur, bageur, bener, tur pinter.
Sebagai penutup tulisan ini, mari kita renungkan ungkapan dari Howard Gardner bahwa : “BUKAN SEBERAPA CERDAS ANDA TETAPI BAGAIMANA ANDA MENJADI CERDAS ! ”
Perilaku Nyontek dalam Pendidikan
Menyontek atau cheating memang bukan hal baru dalam dunia pendidikan, yang biasanya dilakukan oleh seorang atau sekelompok siswa/mahasiswa pada saat menghadapi ujian (test), misalnya dengan cara melihat catatan atau melihat pekerjaan orang lain atau pada saat memenuhi tugas pembuatan makalah (skripsi) dengan cara menjiplak karya orang lain dengan tanpa mencantumkan sumbernya (plagiat). Menurut Wikipedia cheating merupakan tindakan bohong, curang, penipuan guna memperoleh keuntungan teretentu dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Meski tidak ditunjang dengan bukti empiris, banyak orang menduga bahwa maraknya korupsi di Indonesia sekarang ini memiliki korelasi dengan kebiasaan menyontek yang dilakukan oleh pelakunya pada saat dia mengikuti pendidikan.
Sebenarnya, secara formal setiap sekolah atau institusi pendidikan lainnya pasti telah memiliki aturan baku yang melarang para siswanya untuk melakukan tindakan nyontek. Namun kadang kala dalam prakteknya sangat sulit untuk menegakkan aturan yang satu ini. Pemberian sanksi atas tindakan nyontek yang tidak tegas dan konsisten merupakan salah satu faktor maraknya perilaku nyontek.
Tindakan nyontek (plagiasi) semakin subur dengan hadirnya internet, ketika siswa atau mahasiswa diberi tugas oleh guru atau dosen untuk membuat makalah banyak yang meng-copy- paste berbagai tulisan yang ada dalam internet secara bulat-bulat. Mungkin masih agak lumayan kalau tulisan yang di-copy-paste-nya itu dipahami terlebih dahulu isinya, seringkali tulisan itu langsung diserahkan kepada guru/dosen, dengan sedikit editing menggantikan nama penulis aslinya dengan namanya sendiri.
Yang lebih mengerikan justru tindakan nyontek dilakukan secara terrencana dan konspiratif antara siswa dengan guru, tenaga kependidikan (baca: kepala sekolah, birokrat pendidikan, pengawas sekolah, dll) atau pihak-pihak lainnya yang berkepentingan dengan pendidikan, seperti yang terjadi pada saat Ujian Nasional.
Jelas, hal ini merupakan tindakan amoral yang sangat luar biasa, justru dilakukan oleh orang-orang yang berlabelkan “pendidikan”. Mereka secara tidak langsung telah mengajarkan kebohongan kepada siswanya, dan telah mengingkari hakikat dari pendidikan itu sendiri. Di lain pihak, para orang tua siswa pun dan mungkin pemerintah setempat sepertinya berterima kasih dan memberikan dukungan atas “bantuan yang diberikan sekolah” kepada putera-puterinya pada saat mengisi soal-soal ujian nasional.
Sekolah-sekolah yang permisif terhadap perilaku nyontek dengan berbagai bentuknya, sudah semestinya ditandai sebagai sekolah berbahaya, karena dari sekolah-sekolah semacam inilah kelak akan lahir generasi masa depan pembohong dan penipu yang akan merugikan banyak orang. Secara psikologis, mereka yang melakukan perilaku nyontek pada umumnya memiliki kelemahan dalam perkembangan moralnya, mereka belum memahami dan menyadari mana yang baik dan buruk dalam berperilaku. Selain itu, perilaku nyontek boleh jadi disebabkan pula oleh kurangnya harga diri dan rasa percaya diri (ego weakness). Padahal kedua aspek psikologi inilah yang justru lebih penting dan harus dikembangkan melalui pendidikan untuk kepentingan keberhasilan masa depan siswanya. Akhirnya, apa pun alasannya perilaku nyontek khususnya yang terjadi pada saat Ujian Nasional harus dihentikan.
Sebenarnya, secara formal setiap sekolah atau institusi pendidikan lainnya pasti telah memiliki aturan baku yang melarang para siswanya untuk melakukan tindakan nyontek. Namun kadang kala dalam prakteknya sangat sulit untuk menegakkan aturan yang satu ini. Pemberian sanksi atas tindakan nyontek yang tidak tegas dan konsisten merupakan salah satu faktor maraknya perilaku nyontek.
Tindakan nyontek (plagiasi) semakin subur dengan hadirnya internet, ketika siswa atau mahasiswa diberi tugas oleh guru atau dosen untuk membuat makalah banyak yang meng-copy- paste berbagai tulisan yang ada dalam internet secara bulat-bulat. Mungkin masih agak lumayan kalau tulisan yang di-copy-paste-nya itu dipahami terlebih dahulu isinya, seringkali tulisan itu langsung diserahkan kepada guru/dosen, dengan sedikit editing menggantikan nama penulis aslinya dengan namanya sendiri.
Yang lebih mengerikan justru tindakan nyontek dilakukan secara terrencana dan konspiratif antara siswa dengan guru, tenaga kependidikan (baca: kepala sekolah, birokrat pendidikan, pengawas sekolah, dll) atau pihak-pihak lainnya yang berkepentingan dengan pendidikan, seperti yang terjadi pada saat Ujian Nasional.
Jelas, hal ini merupakan tindakan amoral yang sangat luar biasa, justru dilakukan oleh orang-orang yang berlabelkan “pendidikan”. Mereka secara tidak langsung telah mengajarkan kebohongan kepada siswanya, dan telah mengingkari hakikat dari pendidikan itu sendiri. Di lain pihak, para orang tua siswa pun dan mungkin pemerintah setempat sepertinya berterima kasih dan memberikan dukungan atas “bantuan yang diberikan sekolah” kepada putera-puterinya pada saat mengisi soal-soal ujian nasional.
Sekolah-sekolah yang permisif terhadap perilaku nyontek dengan berbagai bentuknya, sudah semestinya ditandai sebagai sekolah berbahaya, karena dari sekolah-sekolah semacam inilah kelak akan lahir generasi masa depan pembohong dan penipu yang akan merugikan banyak orang. Secara psikologis, mereka yang melakukan perilaku nyontek pada umumnya memiliki kelemahan dalam perkembangan moralnya, mereka belum memahami dan menyadari mana yang baik dan buruk dalam berperilaku. Selain itu, perilaku nyontek boleh jadi disebabkan pula oleh kurangnya harga diri dan rasa percaya diri (ego weakness). Padahal kedua aspek psikologi inilah yang justru lebih penting dan harus dikembangkan melalui pendidikan untuk kepentingan keberhasilan masa depan siswanya. Akhirnya, apa pun alasannya perilaku nyontek khususnya yang terjadi pada saat Ujian Nasional harus dihentikan.
Megawati: Pandangan Tentang Pendidikan Murah dan Gratis, Menyesatkan
Menurut Megawati, pendidikan membutuhkan biaya sangat besar. Saat ini saja, negara mengalokasikan seperlima dari anggaran belanja negara untuk pendidikan, tapi tetap dirasa belum memadai. "Saya kira, tidak ada di antara kita yang akan berpikir dua kali untuk mengalokasikan dana lebih besar untuk kepentingan generasi masa depan," kata Megawati.
Untuk meningkatkan dana pendidikan, kata Megawati, masih terbatas kondisi perekonomian. "Sungguh tidak mudah membagi kue anggaran yang sedemikian kecil untuk mendanai banyak kebutuhan. Memperbesar alokasi untuk satu bidang, akan mengurangi alokasi untuk bidang lainnya," kata Megawati. Untuk itu, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah memperbesar kue anggaran dan menggalakkan kampanye anti korups, kolusi dan nepotisme (KKN).
"Dunia pendidikan dapat memberi andil dengan membina kehidupan kerohanian di sekolah dan di rumah tangga. Dalam tiap rumah tangga harus ditanamkan, KKN itu adalah jahat," kata Megawati. Walau demikian, tetap tidak jelas apa yang harus dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pendidikan.
Untuk meningkatkan dana pendidikan, kata Megawati, masih terbatas kondisi perekonomian. "Sungguh tidak mudah membagi kue anggaran yang sedemikian kecil untuk mendanai banyak kebutuhan. Memperbesar alokasi untuk satu bidang, akan mengurangi alokasi untuk bidang lainnya," kata Megawati. Untuk itu, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah memperbesar kue anggaran dan menggalakkan kampanye anti korups, kolusi dan nepotisme (KKN).
"Dunia pendidikan dapat memberi andil dengan membina kehidupan kerohanian di sekolah dan di rumah tangga. Dalam tiap rumah tangga harus ditanamkan, KKN itu adalah jahat," kata Megawati. Walau demikian, tetap tidak jelas apa yang harus dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pendidikan.
Kreativitas di Sekolah
Dalam bahasa yang sederhana, kreativitas dapat diartikan sebagai suatu proses mental yang dapat melahirkan gagasan-gagasan atau konsep-konsep baru. Menurut National Advisory Committees UK (1999), bahwa kreativitas memiliki empat karakteristik, yaitu: (1) berfikir dan bertindak secara imajinatif, (2) seluruh aktivitas imajinatif itu memiliki tujuan yang jelas; (3) melalui suatu proses yang dapat melahirkan sesuatu yang orisinal; dan (4) hasilnya harus dapat memberikan nilai tambah. Keempat karakteristik tersebut harus merupakan suatu kesatuan yang utuh. Bukanlah suatu kreativitas jika hanya salah satu atau sebagian saja dari keempat karateristik tersebut.
Robert Fritz (1994) mengatakan bahwa “The most important developments in civilization have come through the creative process, but ironically, most people have not been taught to be creative.” Hal senada disampaikan pula Ashfaq Ishaq: “We humans have not yet achieved our full creative potential primarily because every child’s creativity is not properly nurtured. The critical role of imagination, discovery and creativity in a child’s education is only beginning to come to light and, even within the educational community, many still do not appreciate or realize its vital importance. Memang harus diakui bahwa hingga saat ini sistem sekolah belum sepenuhnya dapat mengembangkan dan menghasilkan para lulusannya untuk menjadi individu-individu yang kreatif. Para siswa lebih cenderung disiapkan untuk menjadi seorang tenaga juru yang mengerjakan hal-hal teknis dari pada menjadi seorang yang visioner (baca: pemimpin). Apa yang dibelajarkan di sekolah seringkali kurang memberikan manfaat bagi kehidupan siswa dan kurang selaras dengan perkembangan lingkungan yang terus berubah dengan pesat dan sulit diramalkan. Begitu pula, proses pembelajaran yang dilakukan tampaknya masih lebih menekankan pada pembelajaran “what is” yang menuntut siswa untuk menghafalkan fakta-fakta, dari pada pembelajaran “what can be”, yang dapat mengantarkan siswa untuk menjadi dirinya sendiri secara utuh dan orisinal.
Oleh karena itu, betapa pentingnya pengembangan kreativiitas di sekolah agar proses pendidikan di sekolah benar-benar dapat memiliki relevansi yang tinggi dan menghasilkan para lulusannya yang memiliki kreativitas tinggi. Sekolah seyogyanya dapat menyediakan kurikulum yang memungkinkan para siswa dapat berfikir kritis dan kreatif, serta memiliki keterampilan pemecahan masalah, sehingga pada gilirannya mereka dapat merespons secara positif setiap kesempatan dan tantangan yang ada serta mampu mengelola resiko untuk kepentingan kehidupan pada masa sekarang maupun mendatang.
Menurut Robert J Sternberg, seorang siswa dikatakan memiliki kreativitas di kelas manakala mereka senatiasa menunjukkan: (1) merasa penasaran dan memiliki rasa ingin tahu, mempertanyakan dan menantang serta tidak terpaku pada kaidah-kaidah yang ada; (2) memiliki kemampuan berfikir lateral dan mampu membuat hubungan-hubungan diluar hubungan yang lazim; (3) memimpikan tentang sesuatu, dapat membayangkan, melihat berbagai kemungkinan, bertanya “ apa jika seandanya” (what if?), dan melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda; (4) mengeksplorasi berbagai pemikiran dan pilihan, memainkan ideanya, mencobakan alternatif-alternatif dengan melalui pendekatan yang segar, memelihara pemikiran yang terbuka dan memodifikasi pemikirannya untuk memperoleh hasil yang kreatif; dan (5) merefleksi secara kritis atas setiap gagasan, tindakan dan hasil-hasil, meninjau ulang kemajuan yang telah dicapai, mengundang dan memanfaatkan umpan balik, mengkritik secara konstruktif dan dapat melakukan pengamatan secara cerdik.
Pembelajaran yang kreatif dapat dilihat dari dua sisi, yaitu : (1) mengajar secara kreatif (creative teaching) dan (2) mengajar untuk kreativitas (teaching for creativity). Mengajar secara kreatif menggambarkan bagaimana guru dapat menggunakan pendekatan-pendekatan yang imajinatif sehingga kegiatan pembelajaran dapat semakin lebih menarik, membangkitkan gairah, dan efektif. Sedangkan mengajar untuk kreativitas berkaitan dengan penggunaan bentuk-bentuk pembelajaran yang ditujukan untuk mengembangkan para siswa agar memiliki kemampuan berfikir dan berperilaku kreatif.
Kedua konsep tersebut tidak dapat dipisahkan, mengajar untuk kreativitas didalamnya harus melibatkan mengajar secara kreatif. Mengajar secara kreatif dan mengajar untuk kreativitas pada dasarnya mencakup seluruh karateristik pembelajaran yang baik (good learning and teaching), seperti tentang: motivasi dan ekspektasi yang tinggi, kemampuan berkomunikasi dan mendengarkan, kemampuan untuk membangkitkan gairah belajar, inspiratif, kontekstual, konstruktivistik, dan sejenisnya.
Carolyn Edwards dan Kay Springate dalam artikelnya yang berjudul “The lion comes out of the stone: Helping young children achieve their creative potential” memberikan saran tentang upaya pengembangan kreativiitas siswa, sebagai berikut:
Berikan kesempatan dan waktu yang leluasa kepada setiap siswa untuk mengeksplorasi dan melakukan pekerjaan terbaiknya dan jangan mengintervensi pada saat mereka justru sedang termotivasi dalam menyelesaikan tugas-tugasnya secara produktif.
Ciptakan lingkungan kelas yang menarik dan mengasyikkan. Lakukan “unfinished work” sehingga siswa merasa penasaran dan tergoda pemikirannya untuk berusaha melengkapinya pada saat-saat berikutnya. Berikan pula kesempatan kepada setiap siswa untuk melakukan kontemplasi.
Sediakan dan sajikan secara melimpah berbagai bahan dan sumber belajar yang menarik dan bermanfaat bagi siswa.
Ciptakan iklim kelas yang memungkinkan siswa merasa nyaman jika melakukan suatu kesalahan, mendorong keberanian siswa untuk mengambil resiko menerima kegaduhan dan kekacauan yang tepat di kelas, serta memberikan otonomi yang luas kepada siswanya untuk mengelola belajarnya sesuai dengan minat, karakteristik dan tujuannya
Pembelajaran yang kreatif memang bukanlah pilihan yang gampang, di dalamnya memerlukan waktu yang lebih dan perencanaan yang matang untuk melahirkan dan mengembangkan ide-ide baru. Selain itu, diperlukan pula keyakinan yang kuat untuk melakukan improvisasi dalam pembelajaran, keberanian untuk mencoba dan kesanggupan untuk menanggung berbagai resiko yang tidak diharapkan dalam pembelajaran. Kendati harus dilakukan melalui usaha yang tidak mudah, pembelajaran untuk kreativitas ini diyakini dapat menjadikan pembelajaran jauh lebih menyenangkan dan memberikan efektivitas yang tinggi.
Terkait dengan peran guru dalam pembentukan kreativitas siswa, Robert J Sternberg mengatakan “The most powerful way to develop creativity in your students is to be a role model. Children develop creativity not when you tell them to, but when you show them.” Dalam melaksanakan pembelajaran, guru harus dapat menunjukkan keteladanannya sebagai sosok yang kreatif.
Seorang guru yang kreatif tidak hanya dituntut memiliki keahlian dalam bidang akademik, namun lebih dari itu dituntut pula untuk dapat menguasai berbagai teknik yang dapat menstimulasi rasa keingintahuan sekaligus dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan harga diri (self esteem) setiap siswanya. Guru harus dapat memberikan dorongan pada saat siswa membutuhkannya dan memberikan keyakinan kepada siswanya pada saat dia merasa harga dirinya terancam. Dalam melaksanakan proses pembelajaran, seorang guru harus dapat menjaga keseimbangan antara struktur pembelajaran dengan kesempatan pengembangan diri siswa, antara pengelolaan kelompok (management of groups) dengan perhatian terhadap perbedaan individual siswanya.
Untuk menjadi guru kreatif memang bukan hal yang mudah, terutama bagi guru-guru yang tergolong laggard. Ketika dihadapkan dengan suatu perubahan (inovasi) di sekolah, mereka mungkin cenderung terlambat atau justru hanya berdiam diri menghadapi perubahan yang ada. Jika terus menerus dibiarkan, guru-guru seperti inilah yang sebenarnya dapat merusak pendidikan. Tentunya banyak faktor yang menyebabkan mereka menjadi laggard dan tidak kreatif, baik yang bersumber dari dalam diri guru itu sendiri (internal factors) maupun faktor eksternal. Oleh karena itu, agar guru dapat menjadi kreatif perlu diperhatikan berbagai faktor yang mempengaruhi dan melatarbelakanginya.
Kepemimpinan di sekolah merupakan salah satu faktor yang tidak bisa dilepaskan dalam mengembangkan kreativitas guru maupun kreativitas sekolah secara keseluruhan. Fred Luthans (1995) mengemukakan bahwa kreativitas merupakan salah satu keterampilan yang harus dikuasai oleh seorang manajer. Dalam hal ini, kepala sekolah dituntut untuk dapat menciptakan budaya dan iklim kreativitas di lingkungan sekolah yang mendorong seluruh warga sekolah untuk mengembangkan berbagai kreativitas dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya. Kepala sekolah harus dapat memberikan penghargaan kepada sertiap usaha kreatif yang dilakulan oleh anggotanya, terutama usaha kreatif yang dilakukan oleh guru dan siswa dalam melaksanakan pembelajaran. Kepala sekolah juga dituntut untuk dapat menyediakan sumber-sumber bagi pertumbuhan kreativitas di sekolah.
Selain terdapat guru yang termasuk laggard, tidak sedikit pula guru (dan juga siswa) di sekolah yang sesungguhnya memiliki sikap dan pemikiran kritis dan kreatif, namun karena tidak memperoleh dukungan yang kuat dari sistem sekolah, termasuk dari manajemen sekolah, yang pada akhirnya sikap dan pemikiran kreatifnya tidak dapat berkembang secara wajar. Bahkan, sebaliknya mereka seringkali mengalami tekanan tertentu dari lingkungannya karena dianggap sebagai orang yang “nyeleneh” atau eksentrik.
Berdasarkan uraian di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa siswa yang kreatif dapat dihasilkan melalui guru yang kreatif, dan guru yang kreatif dapat dihasilkan melalui kepala sekolah yang kreatif. Siswa yang kreatif merupakan aset yang sangat berharga bagi kehidupan diri pribadinya maupun orang lain.
Robert Fritz (1994) mengatakan bahwa “The most important developments in civilization have come through the creative process, but ironically, most people have not been taught to be creative.” Hal senada disampaikan pula Ashfaq Ishaq: “We humans have not yet achieved our full creative potential primarily because every child’s creativity is not properly nurtured. The critical role of imagination, discovery and creativity in a child’s education is only beginning to come to light and, even within the educational community, many still do not appreciate or realize its vital importance. Memang harus diakui bahwa hingga saat ini sistem sekolah belum sepenuhnya dapat mengembangkan dan menghasilkan para lulusannya untuk menjadi individu-individu yang kreatif. Para siswa lebih cenderung disiapkan untuk menjadi seorang tenaga juru yang mengerjakan hal-hal teknis dari pada menjadi seorang yang visioner (baca: pemimpin). Apa yang dibelajarkan di sekolah seringkali kurang memberikan manfaat bagi kehidupan siswa dan kurang selaras dengan perkembangan lingkungan yang terus berubah dengan pesat dan sulit diramalkan. Begitu pula, proses pembelajaran yang dilakukan tampaknya masih lebih menekankan pada pembelajaran “what is” yang menuntut siswa untuk menghafalkan fakta-fakta, dari pada pembelajaran “what can be”, yang dapat mengantarkan siswa untuk menjadi dirinya sendiri secara utuh dan orisinal.
Oleh karena itu, betapa pentingnya pengembangan kreativiitas di sekolah agar proses pendidikan di sekolah benar-benar dapat memiliki relevansi yang tinggi dan menghasilkan para lulusannya yang memiliki kreativitas tinggi. Sekolah seyogyanya dapat menyediakan kurikulum yang memungkinkan para siswa dapat berfikir kritis dan kreatif, serta memiliki keterampilan pemecahan masalah, sehingga pada gilirannya mereka dapat merespons secara positif setiap kesempatan dan tantangan yang ada serta mampu mengelola resiko untuk kepentingan kehidupan pada masa sekarang maupun mendatang.
Menurut Robert J Sternberg, seorang siswa dikatakan memiliki kreativitas di kelas manakala mereka senatiasa menunjukkan: (1) merasa penasaran dan memiliki rasa ingin tahu, mempertanyakan dan menantang serta tidak terpaku pada kaidah-kaidah yang ada; (2) memiliki kemampuan berfikir lateral dan mampu membuat hubungan-hubungan diluar hubungan yang lazim; (3) memimpikan tentang sesuatu, dapat membayangkan, melihat berbagai kemungkinan, bertanya “ apa jika seandanya” (what if?), dan melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda; (4) mengeksplorasi berbagai pemikiran dan pilihan, memainkan ideanya, mencobakan alternatif-alternatif dengan melalui pendekatan yang segar, memelihara pemikiran yang terbuka dan memodifikasi pemikirannya untuk memperoleh hasil yang kreatif; dan (5) merefleksi secara kritis atas setiap gagasan, tindakan dan hasil-hasil, meninjau ulang kemajuan yang telah dicapai, mengundang dan memanfaatkan umpan balik, mengkritik secara konstruktif dan dapat melakukan pengamatan secara cerdik.
Pembelajaran yang kreatif dapat dilihat dari dua sisi, yaitu : (1) mengajar secara kreatif (creative teaching) dan (2) mengajar untuk kreativitas (teaching for creativity). Mengajar secara kreatif menggambarkan bagaimana guru dapat menggunakan pendekatan-pendekatan yang imajinatif sehingga kegiatan pembelajaran dapat semakin lebih menarik, membangkitkan gairah, dan efektif. Sedangkan mengajar untuk kreativitas berkaitan dengan penggunaan bentuk-bentuk pembelajaran yang ditujukan untuk mengembangkan para siswa agar memiliki kemampuan berfikir dan berperilaku kreatif.
Kedua konsep tersebut tidak dapat dipisahkan, mengajar untuk kreativitas didalamnya harus melibatkan mengajar secara kreatif. Mengajar secara kreatif dan mengajar untuk kreativitas pada dasarnya mencakup seluruh karateristik pembelajaran yang baik (good learning and teaching), seperti tentang: motivasi dan ekspektasi yang tinggi, kemampuan berkomunikasi dan mendengarkan, kemampuan untuk membangkitkan gairah belajar, inspiratif, kontekstual, konstruktivistik, dan sejenisnya.
Carolyn Edwards dan Kay Springate dalam artikelnya yang berjudul “The lion comes out of the stone: Helping young children achieve their creative potential” memberikan saran tentang upaya pengembangan kreativiitas siswa, sebagai berikut:
Berikan kesempatan dan waktu yang leluasa kepada setiap siswa untuk mengeksplorasi dan melakukan pekerjaan terbaiknya dan jangan mengintervensi pada saat mereka justru sedang termotivasi dalam menyelesaikan tugas-tugasnya secara produktif.
Ciptakan lingkungan kelas yang menarik dan mengasyikkan. Lakukan “unfinished work” sehingga siswa merasa penasaran dan tergoda pemikirannya untuk berusaha melengkapinya pada saat-saat berikutnya. Berikan pula kesempatan kepada setiap siswa untuk melakukan kontemplasi.
Sediakan dan sajikan secara melimpah berbagai bahan dan sumber belajar yang menarik dan bermanfaat bagi siswa.
Ciptakan iklim kelas yang memungkinkan siswa merasa nyaman jika melakukan suatu kesalahan, mendorong keberanian siswa untuk mengambil resiko menerima kegaduhan dan kekacauan yang tepat di kelas, serta memberikan otonomi yang luas kepada siswanya untuk mengelola belajarnya sesuai dengan minat, karakteristik dan tujuannya
Pembelajaran yang kreatif memang bukanlah pilihan yang gampang, di dalamnya memerlukan waktu yang lebih dan perencanaan yang matang untuk melahirkan dan mengembangkan ide-ide baru. Selain itu, diperlukan pula keyakinan yang kuat untuk melakukan improvisasi dalam pembelajaran, keberanian untuk mencoba dan kesanggupan untuk menanggung berbagai resiko yang tidak diharapkan dalam pembelajaran. Kendati harus dilakukan melalui usaha yang tidak mudah, pembelajaran untuk kreativitas ini diyakini dapat menjadikan pembelajaran jauh lebih menyenangkan dan memberikan efektivitas yang tinggi.
Terkait dengan peran guru dalam pembentukan kreativitas siswa, Robert J Sternberg mengatakan “The most powerful way to develop creativity in your students is to be a role model. Children develop creativity not when you tell them to, but when you show them.” Dalam melaksanakan pembelajaran, guru harus dapat menunjukkan keteladanannya sebagai sosok yang kreatif.
Seorang guru yang kreatif tidak hanya dituntut memiliki keahlian dalam bidang akademik, namun lebih dari itu dituntut pula untuk dapat menguasai berbagai teknik yang dapat menstimulasi rasa keingintahuan sekaligus dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan harga diri (self esteem) setiap siswanya. Guru harus dapat memberikan dorongan pada saat siswa membutuhkannya dan memberikan keyakinan kepada siswanya pada saat dia merasa harga dirinya terancam. Dalam melaksanakan proses pembelajaran, seorang guru harus dapat menjaga keseimbangan antara struktur pembelajaran dengan kesempatan pengembangan diri siswa, antara pengelolaan kelompok (management of groups) dengan perhatian terhadap perbedaan individual siswanya.
Untuk menjadi guru kreatif memang bukan hal yang mudah, terutama bagi guru-guru yang tergolong laggard. Ketika dihadapkan dengan suatu perubahan (inovasi) di sekolah, mereka mungkin cenderung terlambat atau justru hanya berdiam diri menghadapi perubahan yang ada. Jika terus menerus dibiarkan, guru-guru seperti inilah yang sebenarnya dapat merusak pendidikan. Tentunya banyak faktor yang menyebabkan mereka menjadi laggard dan tidak kreatif, baik yang bersumber dari dalam diri guru itu sendiri (internal factors) maupun faktor eksternal. Oleh karena itu, agar guru dapat menjadi kreatif perlu diperhatikan berbagai faktor yang mempengaruhi dan melatarbelakanginya.
Kepemimpinan di sekolah merupakan salah satu faktor yang tidak bisa dilepaskan dalam mengembangkan kreativitas guru maupun kreativitas sekolah secara keseluruhan. Fred Luthans (1995) mengemukakan bahwa kreativitas merupakan salah satu keterampilan yang harus dikuasai oleh seorang manajer. Dalam hal ini, kepala sekolah dituntut untuk dapat menciptakan budaya dan iklim kreativitas di lingkungan sekolah yang mendorong seluruh warga sekolah untuk mengembangkan berbagai kreativitas dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya. Kepala sekolah harus dapat memberikan penghargaan kepada sertiap usaha kreatif yang dilakulan oleh anggotanya, terutama usaha kreatif yang dilakukan oleh guru dan siswa dalam melaksanakan pembelajaran. Kepala sekolah juga dituntut untuk dapat menyediakan sumber-sumber bagi pertumbuhan kreativitas di sekolah.
Selain terdapat guru yang termasuk laggard, tidak sedikit pula guru (dan juga siswa) di sekolah yang sesungguhnya memiliki sikap dan pemikiran kritis dan kreatif, namun karena tidak memperoleh dukungan yang kuat dari sistem sekolah, termasuk dari manajemen sekolah, yang pada akhirnya sikap dan pemikiran kreatifnya tidak dapat berkembang secara wajar. Bahkan, sebaliknya mereka seringkali mengalami tekanan tertentu dari lingkungannya karena dianggap sebagai orang yang “nyeleneh” atau eksentrik.
Berdasarkan uraian di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa siswa yang kreatif dapat dihasilkan melalui guru yang kreatif, dan guru yang kreatif dapat dihasilkan melalui kepala sekolah yang kreatif. Siswa yang kreatif merupakan aset yang sangat berharga bagi kehidupan diri pribadinya maupun orang lain.
ketika orang tua dan sekolah lepas tangan
Tulisan ini masih ada hubungan dengan sebelumnya. Masih dengan kasus yang sama : siswa yang terbukti melakukan foto porno. Tapi saya secara khusus saya ingin melihat dari sudut pandang pendidikan.
Terus terang saya sedih dengan fenomena yang terjadi. Ketika siswa melakukan sesuatu yang dinyatakan “kejahatan”, maka istitusi sekolah secara umum melakukan pilihan tindakan yang sama : mengeluarkan siswa siswa nakal tersebut.
Ada apa sebenarnya?
Mungkin ini terlalu ekstrim, tapi beginilah dunia kita. Orang tua melepas anaknya kesekolah, seakan-akan tanggungjawab orangtua tentang pendidikan tidak ada, dan itu adalah tanggungjawab sekolah. Tanggungjawab orang tua adalah mencarikan biaya untuk modal sekolah tersebut. Sekolahpun hanya merasa bertanggungjawab mengisi “otak” sang siswa. Dan hanya di jam sekolah. Sisanya, sekolahpun merasa tidak bertanggungjawab. Sementara si siswa tengah berada di umur-umur yang berbahaya. Anak TK dan SD tengah berada di masa kosong yang penuh rasa ingin tahu. Anak SMP dan SMA berada dalam masa krisis identitas tentang siapa dia. Umur-umur aqil baliqh yang berkutat dengan pencarian jati diri. Dan jadilah si anak menjadi kebingungan. Ketika si orang tua melepas anaknya ke sekolah, dan sekolah juga melepas anak ke orang tua, lalu bagaimana nasib mereka?. Kemana mereka harus pergi ketika semua lepas tangan?
Dosa itu terlalu besar untuk dibebankan kepada seorang anak. Dan kadang-kadang saya selalu berfikir. Tidak satupun orang hebat yang tidak pernah berbuat salah. Seorang Thomas Alfa Edison pun ketika ditanya apa formula keberhasilannya, justru keberhasilan itu dihasilkan dari 9999 kesalahan yang pernah dia buat. Sementara, saat ini kesalahan seorang anak sudah menjadi aib, lalu menjadi dikucilkan, dan jadilah orang-orang yang tidak saja takut berbuat salah, tapi yang lebih parah bisa cenderung untuk takut berbuat. Dan ini punya impact yang fatal bagi generasi tersebut di masa depan. Kesalahan tidak untuk dibenarkan, tapi bagaimana agar kesalahan tersebut bisa menjadi sebuah inspirasi untuk berbuat baik dan benar.
Sebagai orang yang belum pernah menjadi orang tua dan guru, omongan saya ini mungkin akan jadi bahan ketawaan. Belum pernah jadi orang tua dan guru kok sok tau. Maaf jika seperti itu. Tapi ijinkan saya tetap berpendapat.
Saat ini sebenarnya konsep home schooling sudah cukup berkembang. Sebuah trend yang baik. Namun, saya fikir itu tidak cukup. Secara filosofis menurut saya, konsep home schooling bukanlah sekedar memindahkan proses belajar mengajar ke rumah. Kalau begitu mah paling tidak akan memberikan impact yang besar. Tapi home schooling dari konteks orang tua seharusnya memberikan perspektif, bahwa tanggungjawab pendidikan itu yang utama ada di rumah. Pendidikan bukan hanya tanggungjawab sekolah.
Begitu pula dengan sekolah. Sungguh menyedihkan jika institusi sekolah hanya bisa mengeluarkan siswa nakal. Lha, masa sekolah lupa berfikir bahwa siswa nakal itu toh suka tidak suka juga hasil didikan mereka sendiri? Lalu haruskah mereka melanjutkan hidup sebagai sampah masyarakat? Banyak hal yang seharusnya, peristiwa seperti siswa yang merokok, foto porno dan sebagainya harusnya menjadi bahan perenungan. Kenapa mereka seperti itu? bagaimana cara menghadapinya? apa yang salah dengan konsep dan proses pendidikan?
Sebagai analogi, dulu, dalam sebuah seminar saya pernah di komplain seorang guru. Dan kebetulan itu terjadi di Padang, kampung halaman saya. Sang guru berkata, internet tidak boleh masuk sekolah. Internet cuma sumber maksiat. Saya lalu menyampaikan logika sederhana. Justru, jika memang internet itu punya impact sedemikian rupa, maka seharusnya internet HANYA ada di sekolah dan wajib hukumnya. Kenapa? Jika sekolah tidak memfasilitasi (dan juga orang tua dirumah), maka tetap si anak tidak akan bisa dilarang. Mereka akan keluar rumah, berinternet di warnet, tanpa pengawasan. Bagaimanapun juga, tanpa ingin mendesktritkan warnet, warnet adalah sebuah bisnis. Ini tidak bisa dipungkiri. Sehingga posisi “mencari keuntungan” akan tetap berada di list lebih tinggi daripada “moral”. Justru dengan menyediakan internet di sekolah atau rumah, aktifitas berinternetnya bisa lebih diawasi. Konsep managementnya bisa lebih di atur, misal, dengan membuat tanpa sekat. Sehingga tidak bisa sembunyi-sembunyi. Kecuali, jika memang si orang tua juga malas mengikuti perkembangan yang ada, malas memahami kondisi anaknya, malas menyisihkan waktu bagi mereka. Begitu pula dengan guru.
Finally, mohon maaf buat bapak dan ibu guru. Saya sadar bahwa terlalu besar tanggungjawab seorang guru jika dibandingkan dengan apa yang didapatkan. Guru benar-benar seorang pahlawan tanpa tanda jasa yang sebenarnya. Tapi saya masih sangat percaya, banyak orang-orang yang memang memilih untuk menjadi guru, karena memang sudah menjadi panggilan jiwa. Semoga Tuhan membalas itikad baik tersebut. Semoga tulisan ini tidak dianggap sebagai sebuah proses pelecehan bagi profesi guru itu sendiri.
Terus terang saya sedih dengan fenomena yang terjadi. Ketika siswa melakukan sesuatu yang dinyatakan “kejahatan”, maka istitusi sekolah secara umum melakukan pilihan tindakan yang sama : mengeluarkan siswa siswa nakal tersebut.
Ada apa sebenarnya?
Mungkin ini terlalu ekstrim, tapi beginilah dunia kita. Orang tua melepas anaknya kesekolah, seakan-akan tanggungjawab orangtua tentang pendidikan tidak ada, dan itu adalah tanggungjawab sekolah. Tanggungjawab orang tua adalah mencarikan biaya untuk modal sekolah tersebut. Sekolahpun hanya merasa bertanggungjawab mengisi “otak” sang siswa. Dan hanya di jam sekolah. Sisanya, sekolahpun merasa tidak bertanggungjawab. Sementara si siswa tengah berada di umur-umur yang berbahaya. Anak TK dan SD tengah berada di masa kosong yang penuh rasa ingin tahu. Anak SMP dan SMA berada dalam masa krisis identitas tentang siapa dia. Umur-umur aqil baliqh yang berkutat dengan pencarian jati diri. Dan jadilah si anak menjadi kebingungan. Ketika si orang tua melepas anaknya ke sekolah, dan sekolah juga melepas anak ke orang tua, lalu bagaimana nasib mereka?. Kemana mereka harus pergi ketika semua lepas tangan?
Dosa itu terlalu besar untuk dibebankan kepada seorang anak. Dan kadang-kadang saya selalu berfikir. Tidak satupun orang hebat yang tidak pernah berbuat salah. Seorang Thomas Alfa Edison pun ketika ditanya apa formula keberhasilannya, justru keberhasilan itu dihasilkan dari 9999 kesalahan yang pernah dia buat. Sementara, saat ini kesalahan seorang anak sudah menjadi aib, lalu menjadi dikucilkan, dan jadilah orang-orang yang tidak saja takut berbuat salah, tapi yang lebih parah bisa cenderung untuk takut berbuat. Dan ini punya impact yang fatal bagi generasi tersebut di masa depan. Kesalahan tidak untuk dibenarkan, tapi bagaimana agar kesalahan tersebut bisa menjadi sebuah inspirasi untuk berbuat baik dan benar.
Sebagai orang yang belum pernah menjadi orang tua dan guru, omongan saya ini mungkin akan jadi bahan ketawaan. Belum pernah jadi orang tua dan guru kok sok tau. Maaf jika seperti itu. Tapi ijinkan saya tetap berpendapat.
Saat ini sebenarnya konsep home schooling sudah cukup berkembang. Sebuah trend yang baik. Namun, saya fikir itu tidak cukup. Secara filosofis menurut saya, konsep home schooling bukanlah sekedar memindahkan proses belajar mengajar ke rumah. Kalau begitu mah paling tidak akan memberikan impact yang besar. Tapi home schooling dari konteks orang tua seharusnya memberikan perspektif, bahwa tanggungjawab pendidikan itu yang utama ada di rumah. Pendidikan bukan hanya tanggungjawab sekolah.
Begitu pula dengan sekolah. Sungguh menyedihkan jika institusi sekolah hanya bisa mengeluarkan siswa nakal. Lha, masa sekolah lupa berfikir bahwa siswa nakal itu toh suka tidak suka juga hasil didikan mereka sendiri? Lalu haruskah mereka melanjutkan hidup sebagai sampah masyarakat? Banyak hal yang seharusnya, peristiwa seperti siswa yang merokok, foto porno dan sebagainya harusnya menjadi bahan perenungan. Kenapa mereka seperti itu? bagaimana cara menghadapinya? apa yang salah dengan konsep dan proses pendidikan?
Sebagai analogi, dulu, dalam sebuah seminar saya pernah di komplain seorang guru. Dan kebetulan itu terjadi di Padang, kampung halaman saya. Sang guru berkata, internet tidak boleh masuk sekolah. Internet cuma sumber maksiat. Saya lalu menyampaikan logika sederhana. Justru, jika memang internet itu punya impact sedemikian rupa, maka seharusnya internet HANYA ada di sekolah dan wajib hukumnya. Kenapa? Jika sekolah tidak memfasilitasi (dan juga orang tua dirumah), maka tetap si anak tidak akan bisa dilarang. Mereka akan keluar rumah, berinternet di warnet, tanpa pengawasan. Bagaimanapun juga, tanpa ingin mendesktritkan warnet, warnet adalah sebuah bisnis. Ini tidak bisa dipungkiri. Sehingga posisi “mencari keuntungan” akan tetap berada di list lebih tinggi daripada “moral”. Justru dengan menyediakan internet di sekolah atau rumah, aktifitas berinternetnya bisa lebih diawasi. Konsep managementnya bisa lebih di atur, misal, dengan membuat tanpa sekat. Sehingga tidak bisa sembunyi-sembunyi. Kecuali, jika memang si orang tua juga malas mengikuti perkembangan yang ada, malas memahami kondisi anaknya, malas menyisihkan waktu bagi mereka. Begitu pula dengan guru.
Finally, mohon maaf buat bapak dan ibu guru. Saya sadar bahwa terlalu besar tanggungjawab seorang guru jika dibandingkan dengan apa yang didapatkan. Guru benar-benar seorang pahlawan tanpa tanda jasa yang sebenarnya. Tapi saya masih sangat percaya, banyak orang-orang yang memang memilih untuk menjadi guru, karena memang sudah menjadi panggilan jiwa. Semoga Tuhan membalas itikad baik tersebut. Semoga tulisan ini tidak dianggap sebagai sebuah proses pelecehan bagi profesi guru itu sendiri.
Langganan:
Postingan (Atom)